Reporter: SS. Kurniawan | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - BANGKOK. Thailand akhirnya melarang penggunaan glifosat dan dua bahan pestisida lainnya, meskipun ada protes dari para petani.
Komite Bahan Berbahaya Nasional Kementerian Perindustrian Thailand melarang glifosat, paraquat, dan chlorpyrifos. "Larangan itu berlaku efektif pada 1 Desember 2019," kata Ketua Komite Panuwat Triangjulsri kepada wartawan di Bangkok, Selasa (22/10), seperti dikutip Channelnewsasia.com.
Paraquat adalah herbisida, yang Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (AS) menyebutnya sangat beracun, telah dilarang penggunaannya di Eropa sejak 2007 lalu.
Baca Juga: Ini alasan Raja Thailand mencabut gelar dan pangkat militer sang selir Sineenat
Lalu, sebuah studi menghubungkan chlorpyrifos dengan keterlambatan perkembangan pada anak-anak. Sementara para kritikus mengatakan, glifosat kemungkinan adalah penyebab kanker.
Organisasi pertanian dan industri kimia telah melobi banyak negara untuk terus menggunakan glifosat, yang juga dijual dengan nama dagang Roundup buatan Mosanto, anak perusahaan Bayer.
Di AS, ada lebih dari 13.000 tuntutan hukum yang mengklaim glifosat menyebabkan berbagai jenis kanker, meskipun herbisida tersebut banyak digunakan dalam pertanian di negeri uak Sam.
Baca Juga: Bidik investasi dari China, Thailand janjikan insentif pajak hingga 50%
Produsen glifosat menderita beberapa kekalahan di pengadilan tingkat pertama, yang rencananya akan mengajukan banding.
Austria menjadi anggota Uni Eropa pertama yang melarang semua penggunaan glifosat pada Juli lalu, dengan pembatasan berlaku di Republik Cek, Italia, dan Belanda. Prancis secara bertahap melarangnya pada 2023 nanti.
Vietnam melarang semua herbisida yang mengandung glifosat segera setelah kasus Roundup di AS. Tetapi, keputusan tersebut dengan cepat menuai kecaman dari Menteri Pertanian AS yang mengatakan, itu akan berdampak pada produksi pertanian global.
Menteri Kesehatan Thailand mengatakan, pestisida membahayakan nyawa manusia dan memuji keputusan Komite Bahan Berbahaya Nasional sebagai tindakan heroik lewat halaman Facebook-nya.
Baca Juga: Lisa Blackpink sumbang US$ 3.300 untuk korban banjir di Thailand
"Jika kita tidak memiliki bahan kimia untuk membasmi gulma, kita harus menggunakan lebih banyak pekerja," kata Charat Narunchron dari asosiasi petani di Provinsi Chanthaburi yang menyebut larangan itu tidak adil.
Jaringan Peringatan Pestisida Thailand yang sudah lama mengadvokasi larangan tersebut mengucapkan terima kasih kepada pemerintah. Tapi, pemerintah perlu membantu petani menyesuaikan diri dengan metode lain.
Informasi saja, industri pertanian Thailand bernilai miliaran dolar AS yang bertujuan untuk menjadi "dapur dunia". Sektor pertanian mempekerjakan 40% populasi negeri gajah putih, salah satu pengekspor beras dan gula terkemuka di dunia.