Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -SINGAPURA. Ditengah isu perang dagang AS-China, perusahaan raksasa Tiongkok Alibaba Group masih terus gencar berekspansi.
Executive Vice Chairman Alibaba Joe Tsai pun mengaku, bisnisnya mampu bertahap dengan rumitnya keadaan politik dan ekonomi yang sedang dihadapi. Hal itu terlihat dari pendapatan kuartal I-2019 perusahaan yang melebihi ekspektasi.
"Kami memiliki kinerja kuartal yang bagus, baik di bidang operasi, pendapatan, dan laba yang angkanya di luar perkiraan," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima KONTAN usai pagelaran Alibaba Cloud Asia Pasific Summit 2019 di Singapura, Jumat (30/5).
Adapun Alibaba melaporkan pendapatan grup sebesar CNY 93,50 miliar (US$ 13,6 miliar) pada periode Januari-Maret 2019, naik 51% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Capaian pendapatan ini mengalahkan proyeksi yang sebesar CNY 91,56 miliar, menurut data IBES dari Refinitif.
Tapi hal tersebut menurut Joe masih belum cukup, ia ingin memilah kompleksitas hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok untuk melihat posisi Alibaba dalam situasi tersebut. "Secara singkat, wacana perdagangan yang ada menempatkan Alibaba di posisi yang tepat di segala isu," tambah dia.
Pertama, pengurangan neraca perdagangan Amerika Serikat. Komitmen Tiongkok untuk membeli lebih banyak produk Amerika selama beberapa tahun mendatang akan menjadikan Tiongkok sebagai negara pengimpor langsung.
Konsumen di Tiongkok, menurut dia, akan merasakan manfaat langsung dengan ketersediaan produk impor berkualitas dari berbagai penjuru dunia. Termasuk dari brand bisnis kecil, dan juga para petani Amerika.
Pada hal ini, Alibaba memiliki posisi dan keadaan yang tepat untuk memanfaatkan peluang dari tren impor yang berkembang di Tiongkok. "Kami adalah platform pilihan bagi produsen global yang ingin memasuki pasar Tiongkok karena kami memiliki pengetahuan mendalam akan 650 juta konsumen aktif Tiongkok pada platform kami," kata Joe.
Jadi dari sisi skala dan efektivitas Alibaba dalam menjangkau konsumen Tiongkok tidaklah tertandingi. Kedua, negosiasi perdagangan yang ada akan mendorong Tiongkok untuk membuka diri atas perdagangan luar demi memenuhi permintaan konsumen domestik yang terus berkembang pesat.
"Kami tidak mencemaskan hal tersebut akan menurunkan perkembangan produk domestik bruto (GDP)," tutur dia. Alasannya, ekonomi Tiongkok akan bergeser dari berorientasi ekspor menuju berorientasi konsumsi domestik.
Perkembangan lapangan kerja turut berperan besar dalam pemikiran ini. Dalam lima tahun terakhir, Tiongkok memang kehilangan 14 juta pekerjaan manufaktur. Namun, pergerakan ekonomi Tiongkok membuka 70 juta lapangan kerja di bidang pelayanan.
Masyarakat kelas menengah di Tiongkok telah mencapai angka kritis di atas 300 juta, hampir sebesar seluruh populasi Amerika Serikat. Angka tersebut diprediksi akan bertambah dua kali lipat dalam 10 tahun ke depan, terutama pada kota-kota yang belum begitu berkembang.
Sementara saat ini total konsumsi domestik Tiongkok mencapai angka USD5,5 triliun (Rp 78.000 triliun), konsumsi dari kota-kota yang belum begitu berkembang tersebut, dengan populasi mencapai 500 juta warga, diprediksi akan meningkat ke angka USD7 triliun (Rp 100.000 triliun) dalam 10 tahun mendatang.
Ketiga, perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok telah meningkatkan sejumlah peningkatan signifikan untuk mengurangi pelanggaran HAKI.
Tiongkok juga mengakui pentingnya melindungi hak para inovator. Selain itu, Tiongkok juga memahami pentingnya mengutamakan konsumen yang menginginkan produk orisinil berkualitas tinggi.
Saat ini Alibaba berada di posisi terdepan dalam melindungi HAKI. Dengan memanfaatkan teknologi yang ia miliki, Alibaba akan mengambil langkah agresif dan proaktif untuk membongkar pihak-pihak pemalsu dalam platform perusahaan.
Ia berpendapat, Alibaba adalah satu-satunya perusahaan e-commerce yang diakui memiliki komitmen atas perlindungan HAKI oleh beragam brand global. Keempat, reformasi struktur ekonomi Tiongkok. Saat ini, sektor swasta tengah berinisiatif membawa ekonomi ke dalam dunia digital, mulai dari proses produksi, rantai pasok, distribusi, pengembangan produk, dan pemasaran.
Hal tersebut akan mendukung industri tradisional yang masih dipengaruhi oleh dominasi negara. Melalui strategi New Retai* dari kami dan dukungan teknologi cerdas, Alibaba mengklaim tengah memimpin pembangunan infrastruktur perdagangan baru dalam dunia ekonomi yang kian menjadi digital.
"Kerjasama kami dengan Starbucks adalah salah satu contoh yang bagus. Di Tiongkok, Starbucks telah menciptakan kehadiran signifikan melalui marketplace kami yang amat bersahabat bagi pengguna telepon seluler," jelas dia.
Hasilnya, Starbucks telah mendapatkan jutaan pelanggan setia baru secara online. Alibaba juga mendukung Starbucks untuk mengembangkan penawaran mereka dari operasi berbasis toko fisik menjadi pengiriman langsung ke pelanggan.
Dengan berbagai poin tersebut, Joe menilai isu negosiasi perdagangan ini akan selesai dengan sendirinya. Sebab ekonomi Tiongkok tengah sedang untuk menutup celah antara kepentingan pemerintah Tiongkok dan Amerika Serikat.
Artinya, di masa depan akan ada konsumsi domestik yang lebih besar, lebih banyak barang impor, perlindungan HAKI yang terus berkembang, dan proses pemindahan industri ke dunia digital dengan partisipasi sektor swasta.
"Ketika kami memandang perubahan ekonomi Tiongkok, Alibaba ada di posisi yang paling tepat. Saya tidak dapat membayangkan perusahaan lain yang lebih baik dan lebih siap untuk menghadapi isu-isu tersebut dan untuk bisa memanfaatkan peluang secara jangka panjang," tutup Joe.