Sumber: Associate Press | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Pada Senin (10/11/2025), China mengumumkan langkah konkret untuk menindak bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan fentanyl — isu utama bagi Presiden Donald Trump dalam pembicaraannya baru-baru ini dengan Presiden China Xi Jinping. Langkah ini menjadi bagian dari upaya kedua negara untuk meredakan ketegangan perang dagang.
AP melaporkan, Beijing menetapkan pembatasan ekspor terhadap 13 bahan kimia “pembuat obat” ke Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Bahan-bahan tersebut termasuk zat yang digunakan untuk memproduksi opioid sintetis yang disalahkan atas puluhan ribu kematian akibat overdosis di AS setiap tahunnya.
Setelah bertemu Xi di Korea Selatan bulan lalu, Trump mengatakan China akan membantu mengakhiri krisis fentanyl, dan sebagai imbalannya, ia akan menurunkan tarif terkait dari 20% menjadi 10%.
Langkah ini menunjukkan dinamika timbal balik dalam kerja sama AS–China mengenai fentanyl selama beberapa tahun terakhir, sekaligus meredakan ketegangan setelah Trump memulai kampanye tarif terhadap negara yang menjadi pengekspor utama bahan baku farmasi, termasuk bahan kimia pembuat fentanyl.
“Kesepakatan pemerintahan Trump dengan Beijing pada dasarnya adalah untuk memulai kembali apa yang telah dilakukan China pada paruh kedua tahun 2024,” ujar Vanda Felbab-Brown, peneliti senior di Brookings Institution yang berfokus pada krisis opioid.
Baca Juga: China Tangguhkan Larangan Ekspor Galium dan Germanium ke AS hingga 2026
Ketika diminta tanggapan Gedung Putih terhadap pembatasan ekspor China dan apakah kesepakatan ini berarti melanjutkan kerja sama yang sebelumnya terhenti akibat tarif, wakil sekretaris pers Anna Kelly mengatakan presiden “telah mengambil setiap tindakan yang mungkin untuk menghentikan aliran narkotika ilegal ke dalam negeri, mulai dari mengamankan perbatasan, menindak kapal pengangkut narkoba, hingga membatasi prekursor fentanyl.”
Kerja sama dalam isu fentanyl telah lama menjadi batu sandungan dalam hubungan Beijing dan Washington.
Pada 2019, saat masa jabatan pertama Trump, Beijing mengambil langkah besar dengan membatasi fentanyl dan zat terkait atas permintaan presiden AS. Namun, ketika hubungan kedua negara memburuk karena isu hak asasi manusia, China mulai memperlambat kerja sama antinarkotika pada 2020 sebelum menghentikannya secara resmi dua tahun kemudian.
Pada 2023, AS memasukkan China sebagai “negara penghasil narkotika ilegal utama” sebelum Presiden Joe Biden bertemu Xi di California untuk mengamankan kesepakatan kerja sama. Tak lama setelah itu, Beijing memperluas pembatasan terhadap lebih banyak zat, termasuk opioid sintetis lainnya dan bahan kimia tambahan untuk fentanyl. Beberapa prekursor penting lainnya dibatasi pada September 2024.
Setelah Trump kembali menjabat, ia memberlakukan dua tarif sebesar 10% terhadap China, menuduh negara itu gagal menghentikan aliran bahan kimia pembuat fentanyl. Sebagai balasan, Beijing mengenakan tarifnya sendiri dan menangguhkan kerja sama antinarkotika.
Baca Juga: AS Mengekspor Sorgum ke China Pasca Pertemuan Trump-Xi Jinping
“Pemerintahan Trump melakukan kesalahan besar dengan sepenuhnya mengabaikan apa yang telah dilakukan China pada 2024 dan langsung menyerang dengan kebijakan tarif,” kata Felbab-Brown. “Hal itu justru memberi Beijing peluang untuk menegosiasikan kembali langkah-langkah yang sebelumnya sudah ada di meja perundingan dan mendapatkan keuntungan ganda.”
Selain itu, Beijing juga mengambil langkah tambahan dengan mengeluarkan pemberitahuan publik melalui Komisi Nasional Pengendalian Narkotika China, yang menyerukan perusahaan untuk mematuhi aturan pajak, bea cukai, hukum internet, dan regulasi valuta asing — sinyal adanya penegakan hukum yang lebih ketat.
Namun, bahan kimia yang baru dibatasi tersebut masih dapat diekspor tanpa izin ke negara lain selain tiga negara Amerika Utara yang disebut dalam pengumuman Kementerian Perdagangan China. Fentanyl sendiri sebagian besar diproduksi di Meksiko.
Tantangan terbesar, menurut Felbab-Brown, adalah bahwa “bahan kimia dasar” ini memiliki banyak kegunaan sah di bidang kimia, pertanian, dan industri farmasi, namun semakin sering dimanfaatkan untuk memproduksi opioid sintetis.
Pada September lalu, Trump kembali memasukkan China sebagai “negara penghasil narkotika ilegal utama.”
Tonton: Bos Nvidia Yakin China Akan Kalahkan AS dalam Perlombaan AI
“Selama ini, (China) telah memungkinkan produksi fentanyl ilegal di Meksiko dan tempat lain dengan mensubsidi ekspor bahan prekursor yang digunakan untuk membuat obat mematikan tersebut, serta gagal mencegah perusahaan China menjual bahan itu kepada kartel kriminal yang sudah diketahui,” demikian pernyataan presiden.
Kesimpulan:
Langkah baru China membatasi ekspor bahan kimia pembuat fentanyl menunjukkan upaya untuk menstabilkan hubungan dagang dengan AS, sekaligus memenuhi tuntutan Washington terkait krisis opioid. Namun, banyak pihak menilai kebijakan ini lebih merupakan langkah simbolis daripada solusi substansial. China tetap memegang kendali atas rantai pasok bahan kimia global, sementara AS masih menghadapi dilema antara tekanan politik dalam negeri dan kebutuhan strategis untuk menjaga kerja sama dengan Beijing.













