Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekspor China secara tak terduga menurun pada Oktober 2025 setelah beberapa bulan sebelumnya sempat melonjak akibat aksi percepatan pengiriman (frontloading) pesanan ke Amerika Serikat guna menghindari tarif impor yang diberlakukan Presiden Donald Trump.
Penurunan ini menegaskan kembali ketergantungan besar ekonomi China terhadap konsumen Amerika, meskipun Beijing berupaya memperluas pasar ekspornya ke wilayah lain.
Sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, China telah berusaha keras mendiversifikasi pasar ekspornya sejak Trump kembali memenangkan pemilihan presiden pada November 2024.
Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi berlanjutnya perang dagang yang sempat mendominasi masa jabatan pertamanya, sekaligus memperkuat hubungan dagang dengan Asia Tenggara dan Uni Eropa.
Baca Juga: Dolar Menguat Lagi Jumat (7/11) Siang, Data Perdagangan China Mengecewakan Pasar Asia
Namun, tidak ada pasar yang mampu menandingi nilai ekspor China ke AS yang mencapai lebih dari US$400 miliar per tahun. Kehilangan pasar ini, menurut ekonom, telah mengurangi pertumbuhan ekspor China sekitar 2 poin persentase atau sekitar 0,3% dari PDB.
Ekspor China Turun 1,1%, Terburuk Sejak Februari
Data bea cukai China yang dirilis Jumat menunjukkan pengiriman barang ke luar negeri turun 1,1% secara tahunan, membalikkan pertumbuhan 8,3% pada September dan jauh di bawah proyeksi survei Reuters yang memperkirakan kenaikan 3,0%. Penurunan ini menjadi kinerja ekspor terburuk sejak Februari.
“Kelemahan bulan lalu didorong oleh perlambatan luas di pasar non-AS,” ujar Zichun Huang, Ekonom China di Capital Economics.
“Meskipun pengiriman ke AS turun tajam, peningkatan ekspor ke hub transit seperti Vietnam menunjukkan produsen masih berupaya memindahkan barang ke AS sebelum tarif baru berlaku,” tambahnya.
Penurunan ini juga dipengaruhi oleh basis tinggi tahun lalu, ketika ekspor tumbuh paling cepat dalam lebih dari dua tahun akibat percepatan pengiriman menjelang kepastian kemenangan Trump di Pilpres 2024.
Namun, sebagian besar analis sepakat bahwa produsen China telah menyalurkan sebagian besar stok mereka ke pasar global dalam beberapa bulan terakhir.
Baca Juga: Ekspor China Tumbang, Dampak Tarif Tinggi AS Mulai Terasa
“Ekspor ke AS melalui Vietnam akan melambat setelah fase frontloading berakhir — dan kita sudah berada di titik itu. Artinya, kuartal keempat akan lebih berat bagi China, dan tekanan akan berlanjut hingga paruh pertama 2026,” kata Alicia Garcia-Herrero, Kepala Ekonom Asia-Pasifik di Natixis.
Ekspor ke AS Anjlok 25%, Perdagangan dengan ASEAN dan UE Melambat
Data menunjukkan ekspor China ke AS anjlok 25,17% secara tahunan, sementara pengiriman ke Uni Eropa hanya naik 0,9%, dan ke Asia Tenggara tumbuh 11% — jauh lebih lambat dibanding lonjakan sebelumnya.
“Indeks PMI sudah memberi sinyal bahwa ekspor China tidak bisa terus tumbuh tanpa batas. Bukan hanya karena AS, tapi juga karena perlambatan ekonomi global,” kata Garcia-Herrero.
Indeks Manajer Pembelian (PMI) resmi China turun ke level terendah enam bulan, dengan banyak pabrikan melaporkan penurunan tajam pada pesanan ekspor baru.
Baca Juga: AS Larang Nvidia Jual Chip AI Versi Terbaru ke China, Beijing Respons Begini
Sementara itu, Woei Chen Ho, ekonom UOB Singapura, menilai gencatan dagang AS–China yang dicapai awal Oktober memberi stabilitas jangka pendek, tetapi memperingatkan tren jangka panjang: “Kedua negara akan berusaha mengurangi ketergantungan satu sama lain. Pangsa ekspor China ke AS kemungkinan akan terus menurun.”
Ketegangan Dagang Kembali Meningkat
Ketegangan antara kedua negara sempat meningkat awal Oktober, setelah Trump mengancam akan mengenakan tarif hingga 100% terhadap barang-barang China sebagai respons atas kebijakan pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth) yang diterapkan Beijing.
Situasi mereda setelah pertemuan antara Trump dan Presiden Xi Jinping di Korea Selatan pekan lalu, di mana kedua pihak sepakat untuk memperpanjang gencatan dagang selama satu tahun, yang sebelumnya dijadwalkan berakhir pada 10 November 2025.
Namun demikian, barang-barang China yang menuju AS masih dikenakan tarif rata-rata sekitar 45%, lebih tinggi dari ambang batas 35% yang disebut sejumlah ekonom sebagai titik hilangnya margin keuntungan manufaktur China.
Surplus perdagangan China pada Oktober tercatat US$90,07 miliar, sedikit turun dari US$90,45 miliar pada September, dan tidak mencapai perkiraan pasar sebesar US$95,6 miliar.
Permintaan Domestik Masih Lemah
Selain pelemahan ekspor, permintaan domestik China juga belum pulih sepenuhnya. Impor hanya tumbuh 1,0% secara tahunan, laju paling lambat dalam lima bulan, dibandingkan 7,4% pada September dan jauh di bawah ekspektasi 3,2%.
Baca Juga: Nexperia Tak Menjamin Produk yang dibuat di China setelah 13 Oktober 2025
Pemerintah China sebelumnya berkomitmen untuk meningkatkan kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB secara signifikan dalam lima tahun ke depan, sebagaimana ditetapkan dalam pertemuan pleno Komite Sentral Partai Komunis China untuk perencanaan ekonomi 2026–2030.
“Dengan momentum ekspor yang melemah, China perlu lebih mengandalkan permintaan domestik,” ujar Zhang Zhiwei, Kepala Ekonom di Baoyin Capital Management.
“Kebijakan fiskal kemungkinan akan lebih agresif pada kuartal pertama 2026,” terangnya.
Secara sektoral, impor kedelai, minyak mentah, dan bijih besi meningkat dibandingkan tahun lalu, didorong pembelian besar dari Amerika Selatan dan harga energi yang kompetitif. Namun, impor tembaga — indikator utama sektor konstruksi — turun akibat harga tinggi dan lesunya pasar properti domestik.













