Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Ekspor China secara tak terduga turun pada Oktober, menandai penurunan paling tajam sejak Februari.
Penurunan ini terjadi setelah berbulan-bulan eksportir bergegas memenuhi pesanan dari Amerika Serikat sebelum tarif tinggi Presiden Donald Trump kembali diberlakukan.
Kinerja ini menunjukkan betapa besar ketergantungan mesin manufaktur terbesar dunia tersebut pada konsumen AS, meski Beijing berupaya memperluas pasar ekspornya ke Asia Tenggara dan Uni Eropa.
Baca Juga: Tesla Akan Bangun Pabrik Chip AI Raksasa, Elon Musk: Mungkin Bersama Intel
Data bea cukai China pada Jumat (7/11/2025) menunjukkan ekspor turun 1,1% secara tahunan (YoY), berbalik dari pertumbuhan 8,3% pada September dan meleset dari perkiraan survei Reuters sebesar 3% pertumbuhan. Ini menjadi kinerja terburuk sejak Februari.
Ekspor China ke AS anjlok 25,17% YoY, sementara ekspor ke Uni Eropa dan Asia Tenggara masing-masing hanya naik 0,9% dan 11%.
“Kelemahan ekspor bulan lalu dipicu oleh penurunan pengiriman ke pasar non-AS. Namun, lonjakan ekspor ke negara transit seperti Vietnam menunjukkan produsen masih mencoba mengalihkan pengiriman untuk menghindari tarif,” ujar Zichun Huang, ekonom China di Capital Economics.
Para analis menilai pelambatan ini juga disebabkan oleh basis perbandingan tinggi pada Oktober tahun lalu, ketika pabrikan China mempercepat pengiriman menjelang kemungkinan kembalinya Trump ke Gedung Putih.
Ekonom Natixis Asia Pasifik Alicia Garcia-Herrero mengatakan tekanan terhadap ekspor China akan terus berlanjut hingga paruh pertama 2026.
Baca Juga: Pemangkasan Penerbangan di AS Picu Kepanikan Maskapai dan Penumpang
“Frontloading ekspor melalui Vietnam sudah mencapai puncaknya. Setelah ini, ekspor China akan makin sulit tumbuh,” ujarnya.
Pelemahan ekspor ini juga sejalan dengan penurunan indeks manufaktur resmi (PMI) yang mencatat level terendah enam bulan, menandakan penurunan pesanan baru dari pasar global.
Meski begitu, penurunan tajam hubungan dagang AS-China sempat mereda setelah pertemuan Trump dan Presiden Xi Jinping di Korea Selatan pekan lalu.
Kedua negara sepakat memperpanjang gencatan perang dagang selama satu tahun ke depan.
Namun, rata-rata tarif produk China menuju AS kini mencapai 45%, jauh di atas ambang batas 35% yang menurut ekonom sudah menghapus margin keuntungan produsen China.
Sementara itu, surplus perdagangan China pada Oktober mencapai US$90,07 miliar, sedikit lebih rendah dari US$90,45 miliar pada bulan sebelumnya dan di bawah perkiraan US$95,6 miliar.
Baca Juga: AS Larang Nvidia Jual Chip AI Versi Terbaru ke China, Beijing Respons Begini
Permintaan Domestik Lemah
Di sisi lain, lemahnya konsumsi domestik masih menjadi kendala utama. Impor China tumbuh hanya 1% yoy, laju paling lambat dalam lima bulan terakhir.
Ekonom Zhang Zhiwei dari Baoyin Capital Management menilai Beijing perlu mengandalkan permintaan dalam negeri untuk menopang pertumbuhan.
“Dengan ekspor yang melemah, China kemungkinan akan lebih agresif mendorong kebijakan fiskal pada kuartal pertama 2026,” ujarnya.
Impor kedelai, minyak mentah, dan bijih besi tercatat naik, tetapi pembelian tembaga yang penting untuk sektor konstruksi turun akibat harga tinggi dan lemahnya permintaan dari industri properti.













