Sumber: Associate Press | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Selain itu, Beijing juga mengambil langkah tambahan dengan mengeluarkan pemberitahuan publik melalui Komisi Nasional Pengendalian Narkotika China, yang menyerukan perusahaan untuk mematuhi aturan pajak, bea cukai, hukum internet, dan regulasi valuta asing — sinyal adanya penegakan hukum yang lebih ketat.
Namun, bahan kimia yang baru dibatasi tersebut masih dapat diekspor tanpa izin ke negara lain selain tiga negara Amerika Utara yang disebut dalam pengumuman Kementerian Perdagangan China. Fentanyl sendiri sebagian besar diproduksi di Meksiko.
Tantangan terbesar, menurut Felbab-Brown, adalah bahwa “bahan kimia dasar” ini memiliki banyak kegunaan sah di bidang kimia, pertanian, dan industri farmasi, namun semakin sering dimanfaatkan untuk memproduksi opioid sintetis.
Pada September lalu, Trump kembali memasukkan China sebagai “negara penghasil narkotika ilegal utama.”
Tonton: Bos Nvidia Yakin China Akan Kalahkan AS dalam Perlombaan AI
“Selama ini, (China) telah memungkinkan produksi fentanyl ilegal di Meksiko dan tempat lain dengan mensubsidi ekspor bahan prekursor yang digunakan untuk membuat obat mematikan tersebut, serta gagal mencegah perusahaan China menjual bahan itu kepada kartel kriminal yang sudah diketahui,” demikian pernyataan presiden.
Kesimpulan:
Langkah baru China membatasi ekspor bahan kimia pembuat fentanyl menunjukkan upaya untuk menstabilkan hubungan dagang dengan AS, sekaligus memenuhi tuntutan Washington terkait krisis opioid. Namun, banyak pihak menilai kebijakan ini lebih merupakan langkah simbolis daripada solusi substansial. China tetap memegang kendali atas rantai pasok bahan kimia global, sementara AS masih menghadapi dilema antara tekanan politik dalam negeri dan kebutuhan strategis untuk menjaga kerja sama dengan Beijing.













