Sumber: Channel News Asia | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) mendakwa tiga pejabat intelijen militer Korea Utara pada Rabu (17 Februari) atas serangan siber untuk mencuri mata uang kripto dan tradisional dari bank serta target lainnya senilai total US$ 1,3 miliar.
Mengutip Channel News Asia, Departemen Kehakiman AS menyebut tindakan pertama terhadap Pyongyang oleh Pemerintahan Joe Biden tersebut sebagai "kampanye kriminalitas global" yang Korea Utara lakukan.
Departemen Kehakiman AS menuduh tiga pejabat intelijen militer Korea Utara melakukan operasi peretasan dan malware yang luas untuk mendapatkan dana bagi Pemerintah Korea Utara sambil menghindari hukuman sanksi PBB yang telah merusak sumber pendapatan negara itu.
Lebih dari tujuh tahun, para pejabat intelijen militer Korea Utara membuat aplikasi cryptocurrency berbahaya yang membuka pintu belakang ke komputer target serta meretas perusahaan yang memasarkan dan memperdagangkan mata uang digital seperti bitcoin.
Selain itu, mereka mengembangkan platform blockchain untuk menghindari sanksi dan secara diam-diam mengumpulkan dana untuk Pemerintah Korea Utara.
Baca Juga: Ini daftar kejahatan pasukan hacker Korea Utara yang semakin berbahaya
Kasus yang Departemen Kehakiman AS ajukan ke pengadilan federal di Los Angeles itu berdasarkan pada tuduhan 2018 terhadap salah satu dari tiga pejabat intelijen militer Korea Utara, yang diidentifikasi sebagai Park Jin Hyok.
Dia didakwa melakukan peretasan gambar Sony pada 2014, pembuatan ransomware WannaCry yang terkenal kejam, dan pencurian di 2016 sebesar US$ 81 juta dari bank sentral Bangladesh.
Beroperasi dari Korea Utara, Rusia, dan China
Tuduhan baru dari Departemen Kehakiman AS menambahkan dua terdakwa, yakni Jon Chang Hyok dan Kim Il.
Tuduhan tersebut menyebutkan, ketiganya bekerja bersama di Biro Umum Pengintaian yang berfokus pada peretasan intelijen militer Korea Utara, yang lebih dikenal dalam komunitas keamanan siber sebagai Lazarus Group atau APT 38.
Ketiganya diduga beroperasi dari Korea Utara, Rusia, dan China untuk meretas komputer menggunakan teknik spearfishing, dan mempromosikan aplikasi mata uang kripto yang dimuat dengan perangkat lunak berbahaya yang memungkinkan mereka untuk mengosongkan dompet kripto korban.
Baca Juga: Korea Selatan sebut Korea Utara berusaha curi data vaksin corona Pfizer
Mereka diduga merampok mata uang digital di Slovenia dan Indonesia serta memeras bursa New York sebesar US$ 11,8 juta.
Dalam sebuah skema 2018, mereka merampok US$ 6,1 juta dari mesin ATM BankIslami Pakistan, setelah mendapatkan akses ke jaringan komputernya.
Hanya, Departemen Kehakiman AS tidak memerinci secara tepat, berapa banyak uang yang sudah para terdakwa curi.
Selain itu, menurut dakwaan Departemen Kehakiman AS, Kim Il mengembangkan mata uang digital berbasis blockchain seperti "Marine Chain Token", yang seolah-olah merupakan instrumen bagi investor untuk membeli saham perusahaan pelayaran.
Baca Juga: Korea Utara perluas fasilitas pengembangan rudal, Korea Selatan siaga tinggi
Untuk kepentingan Kim Jong Un
Dia memasarkan peluang untuk berinvestasi dalam skema di Singapura, tanpa memberi tahu calon investor bahwa mekanisme itu terutama dirancang untuk menyembunyikan identitas kepemilikan kapal untuk membantu Korea Utara menghindari sanksi.
Semua tindakan itu, Departemen Kehakiman AS menyebutkan, bertujuan untuk "memajukan kepentingan strategis dan keuangan pemerintah (Korea Utara) dan pemimpinnya, Kim Jong Un".
"Operator Korea Utara menggunakan keyboard daripada senjata, mencuri dompet digital cryptocurrency dan bukan karung uang tunai, adalah perampok bank terkemuka di dunia," kata Asisten Jaksa Agung AS John Demers dalam sebuah pernyataan.
"Dakwaan negara-bangsa seperti ini merupakan langkah penting dalam mengidentifikasi masalah, menyerukannya dalam format yang ketat secara hukum, dan membangun konsensus internasional," kata Demers, seperti dilansir Channel News Asia.