Sumber: yahoo news | Editor: Rizki Caturini
FUDAI. Menyaksikan dahsyatnya kerusakan akibat tsunami yang melanda wilayah pesisir pantai Jepang pada 11 Maret 2011 silam, rasanya mustahil ada bangunan yang tersisa. Namun ternyata, di tengah reruntuhan puing-puing sisa hantaman bencana itu, terdapat satu perkampungan di pantai timur laut yang masih berdiri kokoh.
Tidak ada satu rumah pun yang tersapu tsunami. Perkampungan itu bernama Fudai. Ternyata yang menyelamatkan desa yang ditinggali oleh 3.000 penduduk itu adalah sebuah tembok besar setinggi 15,5 meter (m) yang berdiri melindungi desa itu.
Fudai yang terletak sekitar 510 kilometer (km) di utara Tokyo ini harus menerima hantaman gelombang tsunami setinggi 20 (m) dua bulan lalu. Air tetap masuk ke dalam desa, namun tidak sampai merusak desa. Tembok penghalang meminimalisir dahsyatnya gelombang. Beruntungnya lagi, desa ini terlindung oleh dua gunung yang juga menjadi penghalang daya rusak gelombang tsunami yang menerjang.
Bangunan itu juga berfungsi sebagai puntu air. Proyek pembangunan pintu air ini sempat disebut-sebut sebagai ketololan walikota Fudai waktu itu, Kotaku Wamura, yang memutuskan menjalankan proyek ini.
Masyarakat sekitar menolak pembangunan karena pembangunannya memakan waktu lama dan menghabiskan uang banyak. Jika merujuk nilai dollar AS saat ini, pembangunan pintu air itu menghabiskan dana tak kurang dari US$ 30 juta. Tapi, toh ternyata bangunan ini menjadi dewa penolong rakyat desa yang terlindung di dalamnya.
"Pembangunan pintu air ini menghabiskan banyak biaya. Tapi tanpa ini Fudai akan habis tersapu tsunami," ujar Satoshi Kaneko, nelayan berumur 55 tahun yang sangat bersyukur seluruh keluarganya selamat dari bencana tsunami kala itu.
Proyek pintu air ini mendapat kritikan keras pada tahun 1970-an, karena dianggap membuang-buang duit. "Bagaimanapun proyek ini mendapat tentangan dari berbagai pihak, pintu air ini berhasil menyelamatkan Fudai dari bencana tsunami," ujar Walikota Fudai saat ini, Hiroshi Fukawatari.
Beberapa kota di selatan dan utara yang juga terkena gelombang tsunami juga telah memiliki pintu air dan tembok penghalang gelombang, namun tidak ada yang setinggi seperti di Fudai. Sehingga, desa-desa lain masih terkena dampaknya.
Wamura tidak akan pernah melupakan sejarah gempa dan tsunami yang juga melanda Fudai pada 1933 dan 1896. Dua bencana itu menghancurkan desa. Ratusan rumah hancur dan menewaskan 439 warga Fudai. "Kami selama 40 tahun hidup dalam kemiskinan karena itu," kisahnya waktu itu yang terekam di dalam buku catatan miliknya.
Ia bersumpah kepada dirinya sendiri bahwa hal itu tidak boleh terulang. Pada 1967, kota ini mendirikan tembok pembatas dengan laut untuk melindungi rumah-rumah di pinggir pantai itu.
Tapi, Wamura memiliki proyek lebih besar lagi dengan mendirikan pintu air dengan panel yang bisa mengalirkan air sungai Fudai, sehingga bisa menahan gelombang jika terjadi tsunami di daerah itu. Ia bersikeras bahwa strukturnnya harus sama tinggi dengan tembok pembatas pantai.
"Sebenarnya tidak ada yang keberatan dengan proyek itu, tapi ukuran pintu air itu yang dirasa terlalu tinggi waktu itu," ujar Yuzo Mifune, Kepala Pelayanan Masyarakat Fudai yang mengetahu cerita pembangunan pintu air ini.
Lantas, mulailah pembangunan konstruksi proyek ini pada 1972. Dalam prosesnya, proyek ini menghadapi kendala karena masyarakat pemilik tanah tidak bersedia menjual tanah mereka kepada pemerintah untuk pendirian pintu air yang dirasa kelewat besar ini. Tapi akhirnya pada 1984 proyek ini selesai juga.
Ketika tsunami terjadi, gelombang menghantam teluk dan meninggalkan puing-puing serta pohon-pohon tumbang. Namun, daerah di dalam pintu air tidak terkena tsunami.
Salah satu sekolah dasar Fudai yang terlindung pintu air itu tetap berdiri kokoh. Salah satu guru olahraga di sekolah itu Sachio Kamimukai mengatakan, ia tidak mengetahui pentingnya bangunan itu sebelum tsunami itu terjadi. "Saya percaya bangunan itu ada di situ karena memang seharusnya ada," ujarnya.
Wamura pensiun, empat tahun setelah pintu air itu selesai dibangun. "Walaupun masyarakat menentang pembangunan pintu air ini, tapi saya harus menyelesaikan apa yang saya mulai. Pada akhirnya nanti, anda akan mengerti," ujarnya dalam pidato pensiunnya kala itu.
Ia meninggal dunia pada 1997 di usia 88 tahun. Karena jasanya itu, setelah bencana tsunami itu, masyarakat menyambangi makamnya untuk memberi penghargaan dan menunjukkan rasa hormat serta berterima kasih kepadanya.