Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Adinda Ade Mustami
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai merancang berbagai cara pemulihan ekonomi global pasca krisis akibat pandemi virus corona Covid-19. Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati ditunjuk menjadi salah satu pembicara dalamm forum Rebirthing the Global Economy to Deliver Sustainable Development yang diselenggarakan PBB, Rabu (1/7).
PBB melihat Pandemi Covid-19 berdampak pada resesi perekonomian global. Pada forum itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kekhawatirkan dirinya akan segala upaya untuk memajukan perekonomian yang telah dilakukan 20-30 tahun terakhir dalam pengentasan kemiskinan dan berbagi kesejahteraan, menjadi percuma.
Hal tersebut disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati saat menjadi salah satu pembicara dalam acara bertajuk Rebirthing the Global Economy to Deliver Sustainable Development yang diselenggarakan PBB, Rabu (1/7).
Menkeu Sri Mulyani Indrawati mencontohkan, Indonesia mengalami kemunduran sekitar lima tahun untuk pengentasan kemiskinan karena pandemi corona yang baru terjadi enam bulan belakangan ini.
Baca Juga: Badan Anggaran DPR usulkan agar pemerintah jalankan sunset policy
"Pandemi mempengaruhi ekonomi negara secara signifikan. Hal itu membuat sumber pembiayaan menjadi terbatas, penerimaan perpajakan turun karena semua kegiatan ekonomi terkontraksi, dan pada waktu yang sama, perlu belanja untuk kesehatan dan Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan stimulus pemulihan ekonomi meningkat tajam," kata Sri Mulyani dalam acara tersebut dikutip dari situs resmi Kementerian Keuangan, Rabu.
Untuk kasus Indonesia Sri Mulyani menyampaikan, pemerintah Indonesia memutuskan untuk memperlebar defisit anggaran tahun ini dari target awal sebesar 1,7% dari produk domestik bruto (PDB) menjadi 6,34% dari PDB.
Baca Juga: Hadapi tantangan pasca Covid-19, Indonesia dan India jajaki perundingan dagang
"Bagaimana caranya untuk membiayai itu? Jika sebuah negara punya ruang fiskal, bisa dari tabungan dari masa lalunya (past saving), juga pembiayaan dari institusi multilateral," papar Sri Mulyani. Namun, pembiayaan dari lembaga multilateral saja tidak cukup. Sehingga diperlukan pinjaman lainnya seperti dari pasar uang lokal, bond atau global bond.
Namun, bunga pinjaman dari lembaga keuangan global untuk negara berkembang atau negara miskin, terlalu tinggi. Menurutnya, itu adalah diskriminasi yang tidak menciptakan kesempatan yang sama untuk mengejar (catch up) atau mengatasi isu pandemi ini.
Oleh karena itu lanjut Sri Mulyani, yang harus dilakukan oleh negara-negara berkembang dan miskin, pertama, menggunakan pandemi Covid-19 ini untuk momentum reformasi besar-besaran dalam hal pendidikan, perumahan, jaring pengaman sosial atau kualitas belanja.
"Di negara saya, saat meningkatkan belanja, apakah belanja itu bisa dijustifikasi? Apakah belanja itu di arah yang benar? Apakah delivered (tepat sasaran) dan berdampak positif pada masyarakat dan ekonomi? Itu adalah kualitas belanja. Desain kebijakan saat keadaan darurat sangat sulit dan menantang tapi Anda harus memberikan yang terbaik," tegas Sri Mulyani.
Kedua, keadaan pandemi Covid-19 memaksa orang untuk bekerja dari rumah (WFH) dan sekolah dari rumah (SFH). Kegiatan tersebut bisa digantikan secara virtual dan berhasil.
Baca Juga: Badan Anggaran DPR usulkan defisit anggaran tahun 2021 sebesar 4,7%
Namun yang terpenting, sebuah negara punya infrastruktur digital untuk menerapkan proses bisnis virtual. Sehingga, investasi pada teknologi informasi (IT) dan infrastruktur digital sangat penting di masa sekarang dan masa depan.
Ketiga, respon yang baik dari arsitektur keuangan global terkait situasi ini. Banyak negara menghadapi defisit fiskal, belum lagi keseimbangan pembayaran. Tapi bila tidak segera diatasi, maka situasi fiskal ini akan mempengaruhi sektor keuangan. Misalnya, peningkatan kredit macet (NPL).
Adapun yang dilakukan Indonesia, salah satunya adalah memberi relaksasi untuk restrukturisasi perbankan menyesuaikan guncangan.
Baca Juga: Defisit melebar, rasio utang di tahun ini diperkirakan mencapai 37,6% dari PDB
Menkeu mengatakan bahwa pemerintah memberikan relaksasi, subsidi, restrukturisasi utang, yang difokuskan untuk sektor akar rumput, sektor informal, UMKM dan orang miskin. Wanita sebagai gender yang banyak memiliki bisnis UMKM dan ultra mikro juga turut diperhatikan.
"Pandemi ini menyerang sektor akar rumput, sektor informal, UMKM, orang miskin dan khususnya gender wanita. Oleh karena itu, dalam mendesain rebirthing economy, kita harus memperhatikan keempat ini. Banyak kebijakan kami berpihak kepada mereka dalam bentuk subsidi, dan restrukturisasi utang mereka agar mereka mampu bertahan dalam masa sulit ini," harapnya.
Sri Mulyani juga berharap akan lebih banyak lagi kebijakan yang pro dengan perspektif wanita seperti dalam kepemilikan properti, tanah, dan akses pendidikan.
"Saya berharap akan makin banyak lagi kebijakan apakah reformasi perumahan, reformasi pendidikan, pemilikan tanah, kita dapat menempatkan persepektif gender wanita yang lebih baik," pungkasnya.