Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - BANGKOK. Dinasti politik Shinawatra di Thailand tengah bersiap menghadapi rangkaian putusan pengadilan yang berisiko mengguncang stabilitas politik negara itu, sekaligus memicu spekulasi pemilu dini di tengah ekonomi yang lesu.
Mulai Jumat (22/8/2025) ini, pengadilan akan memutus perkara dugaan penghinaan terhadap monarki oleh mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.
Baca Juga: Turis di Thailand Bisa Belanja Pakai Kripto
Kasus tersebut merujuk pada wawancara media tahun 2015 yang dinilai menyinggung institusi Kerajaan, sebuah pelanggaran serius di Thailand yang dapat berujung hukuman penjara hingga 15 tahun per dakwaan.
Tak berhenti di situ, 18 hari kemudian pengadilan lain juga akan menentukan apakah masa tahanan Thaksin pada 2023 yang dijalani di ruang perawatan VIP rumah sakit alih-alih di penjara dapat dianggap sah sebagai pelaksanaan hukuman atas kasus penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan.
Sementara itu, Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra (39), putri Thaksin, juga terancam dicopot dari jabatannya.
Ia dituduh melanggar etika setelah percakapan teleponnya dengan mantan pemimpin Kamboja Hun Sen bocor, di tengah ketegangan perbatasan yang kemudian meletus menjadi konflik bersenjata.
Jika Paetongtarn terbukti bersalah dalam sidang Mahkamah Konstitusi pada 29 Agustus mendatang, maka ia berpotensi bernasib sama dengan pendahulunya, Srettha Thavisin, yang dicopot tahun lalu.
Baca Juga: Bank Sentral Thailand Pangkas Suku Bunga ke Level Terendah Hampir 3 Tahun
Dinasti Politik di Persimpangan
Keluarga Shinawatra bukan pemain baru dalam turbulensi politik Thailand. Mereka pernah digulingkan melalui dua kudeta militer dan tiga putusan pengadilan yang menjatuhkan tiga pemerintahan serta lima perdana menteri.
Namun kali ini, ketidakpastian politik datang di saat genting bagi perekonomian Thailand, yang sedang terseok menghadapi lemahnya pertumbuhan, tingginya utang rumah tangga, melambatnya pariwisata, dan kekhawatiran investor atas kesinambungan kebijakan.
Jika Paetongtarn tersingkir, parlemen harus memilih perdana menteri baru dari daftar kandidat hasil Pemilu 2023.
Opsi Pheu Thai, partai yang dipimpin keluarga Shinawatra hanya tersisa Chaikasem Nitisiri, mantan Menteri Kehakiman berusia 76 tahun.
Namun, dukungan terhadap Chaikasem dianggap lemah, sehingga memerlukan manuver politik Thaksin untuk mengamankan suara koalisi yang rapuh.
Baca Juga: Tiga Tentara Thailand Kena Ranjau Darat Saat Berpatroli di Daerah Perbatasan
Kalkulasi Politik
Nama lain yang muncul adalah Anutin Charnvirakul, mantan Menteri Dalam Negeri, serta eks-premier sekaligus pemimpin kudeta Prayuth Chan-ocha yang kini menjadi penasihat kerajaan.
Sementara oposisi utama, Partai Rakyat, memberi sinyal bisa mendukung Anutin asalkan ia mau membubarkan parlemen tahun ini dan membuka jalan bagi reformasi konstitusi.
Meski risiko besar membayangi, sejumlah analis menilai Thaksin masih memiliki dukungan dari kalangan konservatif berpengaruh, yang melihatnya sebagai penyeimbang untuk menahan laju oposisi progresif.
Baca Juga: Thailand dan Kamboja Sepakat Gencatan Senjata Permanen Usai Konflik Perbatasan
“Kelompok konservatif telah memilih Thaksin,” ujar Olarn Thinbangtieo, dosen ilmu politik Universitas Burapha.
“Chaikasem kemungkinan akan ditunjuk sebagai perdana menteri sementara, lalu membubarkan parlemen ketika waktunya dianggap tepat.”