Sumber: Reuters | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Perekonomian China tumbuh pada laju yang lemah pada kuartal II 2023 karena permintaan melemah di dalam dan luar negeri.
Otoritas China pun menghadapi tugas berat dalam upaya mempertahankan pemulihan ekonomi di jalurnya dan membatasi pengangguran, karena setiap stimulus agresif dapat memicu risiko utang dan distorsi struktural.
Seperti dilansir Reuters, Biro Statistik Nasional China mencatat, pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) China hanya tumbuh 0,8% di kuartal II 2023 dari kuartal sebelumnya.
Secara tahunan, PDB China meningkat 6,3% pada kuartal II 2023, naik dari 4,5% di kuartal I 2023. Namun, angka tersebut jauh di bawah perkiraan sebesar 7,3%.
"Data ini menunjukkan bahwa ledakan ekonomi China pasca-Covid jelas telah berakhir," kata Carol Kong, ekonom di Commonwealth Bank of Australia di Sydney.
"Indikator ini masih melukiskan gambaran pemulihan yang suram dan goyah dan pada saat yang sama pengangguran kaum muda mencapai rekor tertinggi," imbuhnya lagi.
Baca Juga: Angka Pengangguran di China Meningkat Seiring Melambatnya Pertumbuhan Ekonomi
Data terbaru ini meningkatkan risiko China kehilangan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% di tahun 2023, kata beberapa ekonom.
Data lain yang dirilis bersamaan dengan angka PDB, menunjukkan penjualan ritel China tumbuh 3,1% pada Juni 2023, melambat tajam dari pertumbuhan 12,7% di bulan Mei 2023.
Pertumbuhan output industri China secara tak terduga memang meningkat menjadi 4,4% bulan lalu dari 3,5% yang terlihat di bulan Mei, tetapi permintaan tetap suam-suam kuku.
Investasi aset tetap swasta China menyusut 0,2% dalam enam bulan pertama 2023. Sangat kontras dengan pertumbuhan 8,1% dalam investasi oleh entitas negara, menunjukkan kepercayaan bisnis swasta yang lemah.
Data terbaru ekonomi China ini menunjukkan pemulihan pasca-Covid goyah dengan cepat karena ekspor turun akibat permintaan yang menyusut di dalam dan luar negeri.
Sementara penurunan yang berkepanjangan di pasar properti utama telah melemahkan kepercayaan.
Momentum keseluruhan yang lemah dan risiko resesi global telah meningkatkan ekspektasi para pembuat kebijakan perlu berbuat lebih banyak untuk menopang ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Pihak berwenang China kemungkinan akan meluncurkan lebih banyak langkah stimulus. Termasuk pengeluaran fiskal untuk mendanai proyek infrastruktur besar, lebih banyak dukungan untuk konsumen dan perusahaan swasta, dan beberapa pelonggaran kebijakan properti.
"Tetapi perubahan haluan yang cepat tidak mungkin terjadi," kata para analis.
Semua mata tertuju pada pertemuan Politbiro China akhir bulan ini, ketika para pemimpin puncak dapat memetakan arah kebijakan untuk sisa tahun ini.
Bursa saham Asia tergelincir, sementara yuan China melemah setelah pengumuman data ekonomi China yang mengecewakan.
"Itu angka yang cukup mengecewakan hanya 6,3%, jadi jelas momentumnya melambat," kata Alvin Tan, kepala strategi Asia FX di RBC Capital Markets di Singapura.
Pada laju perlambatan ini, kata Tan, sebenarnya ada risiko bahwa target pertumbuhan ekonomi China sebesar 5% tahun ini mungkin tidak tercapai jika ekonomi terus melambat pada laju ini.
"Jadi saya pikir hal ini meningkatkan urgensi yang lebih besar untuk dukungan kebijakan lebih lanjut segera," ujarnya.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi China Kuartal II Melemah, Dipicu Pelemahan Permintaan