Reporter: Yuwono Triatmodjo | Editor: Sofyan Hidayat
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Pada bulan pertama di tahun 2018, mesin perdagangan China kembali melaju kencang setelah pada Desember 2017 sempat melempem. Di Januari lalu, baik realisasi ekspor maupun impor China, seluruhnya tumbuh di atas ekspektasi. Hal ini memberikan sinyal kuatnya permintaan di tahun 2018.
Data General Administration of Customs China menunjukkan bahwa ekspor bulan Januari 2018 meningkat 11,1% dibandingkan dengan Januari 2017. Pertumbuhan ini lebih tinggi ketimbang konsensus analis yang mematok pertumbuhan ekspor sebesar 9,6%. Nilai transaksi ekspor yang dibukukan per Januari 2018 tersebut, juga tumbuh 10,9% dibandingkan dengan Desember 2017.
Impor China per Januari 2018 tercatat meningkat 36,9% dari tahun sebelumnya. Perolehan ini pun merontokkan perkiraan analis yang memperkirakan kenaikan sebesar 9,8%.
Bahkan impor China turun sebesar 4,5% pada Desember 2017. Penurunan impor ini sempat memunculkan kekhawatiran bahwa permintaan domestik merosot karena pemerintah Beijing memaksa pabrik peleburan dan pabrik manufaktur lainnya untuk mengurangi polusi.
Pemerintah China memang sebelumnya bertindak keras kepada pabrik-pabrik yang menyumbang polusi tinggi. Selain itu, Pemerintah China mengawasi secara ketat aktivitas ekspansi perusahaan-perusahaan dalam negeri yang terbelit utang cukup besar. Langkah tersebut ditempuh Pemerintah China guna menekan risiko keuangan, karena beban utang yang terlampau tinggi.
Tingginya pertumbuhan impor ditopang oleh pembelian komoditas yang sangat besar. Tercatat, impor minyak mentah China Januari 2018 lalu mencetak rekor tertinggi. Rekor impor tertinggi berikutnya datang dari pembelian bijih besi.
Tingginya pertumbuhan impor, mengakibatkan surplus perdagangan China hanya sebesar
US$ 20,34 miliar. Jumlah ini jauh dibandingkan dengan prediksi surplus Januari 2018 oleh para analis yang menebak sebesar US$ 54,1 miliar. Sementara, surplus per Desember 2017 mencapai US$ 54,69 miliar.
Beberapa pengamat ekonomi menyebutkan, tingginya impor juga bisa terjadi karena penambahan cadangan bahan baku lebih rendah ketimbang pertumbuhan permintaan. "Data impor tersebut mengindikasikan momentum permintaan domestik tetap sehat pada tahun 2018 ini," tutur Louis Kuijs, Kepala Ekonom Asia dari Oxford Economics seperti diberitakan Reuters, Kamis (8/2).
Sekilas menengok ke belakang, impor China sepanjang tahun 2017 tumbuh 16% dan menjadi yang tertinggi sejak tahun 2011. Hal tersebut disebabkan booming konstruksi yang menyebabkan tingginya permintaan bahan baku. Sementara penguatan nilai tukar, dikhawatirkan dapat menekan daya saing produk China dan mengurangi potensi ekspor.