Sumber: foxnews,CNBC,Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Perlambatan ekonomi Tiongkok kemungkinan akan memaksa Beijing untuk membuat kesepakatan dalam perang dagang dengan AS yang sebetulnya tidak mereka inginkan.
"Saya menduga pelambatan ekonomi China yang semakin meningkat, ditambah dengan data ketenagakerjaan baru-baru ini yang menunjukkan berlanjutnya kekuatan dalam ekonomi AS, memberikan tekanan besar pada China untuk menyelesaikan lebih cepat daripada ditunda-tunda lagi," jelas Richard Koo, kepala ekonom di Nomura yang berbasis di Tokyo Lembaga Penelitian, seperti yang dilansir Fox Business.
Baca Juga: Trump mempertimbangkan pembebasan tarif impor bagi Apple
China, ekonomi terbesar kedua di dunia, tumbuh pada tingkat 6% pada kuartal ketiga, paling lambat sejak pencatatan dimulai pada tahun 1993. Berdasarkan prediksi Badan Moneter Internasional (IMF) dalam Outlook Ekonomi Dunia Oktober 2019, pertumbuhan diperkirakan melambat menjadi 5,8% pada tahun 2020 akibat perang perdagangan dan meningkatnya tingkat utang China.
Pasar saham China juga berada di bawah tekanan. Shanghai Composite telah turun 11,1% sejak AS pertama kali mengumumkan tarif yang mempengaruhi barang-barang Tiongkok pada 1 Maret 2018. Sebagai perbandingan, S&P 500 telah naik 14,9%.
Baca Juga: Sumber: Kesepakatan dagang fase satu antara AS-China mungkin tak selesai tahun ini
Di saat bersamaan, perekonomian AS mengalami rebound dalam beberapa bulan terakhir. Bahkan indeks aktivitas jasa AS melampaui ekspektasi analis pada Oktober lalu. Sedangkan pasar tenaga kerja AS semakin solid. Data ekonomi yang lebih baik dari perkiraan mendongkrak pasar saham AS ke level rekornya pada bulan ini.
Mengutip Reuters, AS dan China telah sepakat untuk menyelesaikan kesepakatan dagang fase pertama pada awal Oktober. Meski demikian, negosiasi dagang ini sepertinya menemui jalan buntu setelah kedua belah pihak sama-sama menekankan persyaratan inti yang harus dipenuhi.
Baca Juga: Risalah The Fed menunjukkan isyarat penangguhan siklus pelonggaran moneter
China, misalnya, meminta agar AS menarik kembali seluruh tarif yang sudah diberlakukan AS sebagai syarat kesepakatan. Hal ini yang tidak disetujui oleh Presiden AS Donald Trump.
Berdasarkan hal itu, Koo memproyeksikan, AS tidak akan mengubah pandangannya terhadap China, kendati berada di bawah pemerintahan presiden baru.
Baca Juga: Trump: AS akan naikkan tarif impor China jika tidak ada kesepakatan yang dicapai
"Pendekatan secara keras terhadap CHina oleh Trump kemungkinan menjadi satu-satunya inisiatif darinya yang telah menyokong perundingan kedua belah pihak. AS sepertinya menolak untuk mengubah kebijakannya kecuali China melakukan perubahan yang signifikan," kata Koo seperti yang dikutip dari CNBC.
Strategi bank sentral China
Bank sentral China, The People's Bank of China, sudah mengambil sejumlah aksi untuk memerangi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Termasuk di antaranya memangkas dua suku bunga kunci pada pekan ini.
Pada Rabu, misalnya, bank sentral menurunkan suku bunga pinjaman utama, yang menjadi suku bunga acuan negara tersebut, untuk kali pertama dalam empat tahun terakhir. Sehari sebelumnya, PBOC juga memangkas tingkat suku bunga repurchase tujuh harian.
Baca Juga: Cemas Gara-Gara Kelakuan Oknum, Investor Asing Makin Getol Menggelar Aksi Jual
Selain menghadapi perlambatan pertumbuhan, China juga menghadapi masalah terkait inflasi. Data Reuters menunjukkan, inflasi konsumen China telah melaju ke level tertinggi hampir delapan tahun yakni mendekati 3,8%. Sebagian didorong oleh melonjaknya harga daging babi sebagai akibat merebaknya Demam Babi Afrika di negara itu, yang menimbulkan dilema bagi bank sentral.
"PBOC semakin khawatir tentang kenaikan inflasi CPI dan ekspektasi inflasi," kata Koo seperti yang dikutip dari Reuters.