Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Ekonomi China telah memasuki era pertumbuhan yang jauh lebih lambat. Hal ini meningkatkan kekhawatiran akankah China tidak pernah menjadi negara kaya?
Kini China, negara dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 3% - 4% per tahun, diproyeksi telah memasuki era stagnasi ekonomi, seperti halnya Jepang. Kondisi ini tampaknya akan mengecewakan para pemimpin China dan sebagian besar negara di dunia yang bergantung pada Tiongkok.
Padahal sebelumnya, para pembuat kebijakan di China berharap dapat mempersempit kesenjangan pembangunan China dengan Amerika Serikat (AS). Para pemuda Tiongkok pergi ke universitas untuk belajar untuk pekerjaan ekonomi maju.
Baca Juga: Indonesia Masuk dalam Jajaran 10 Negara Terkaya Asia, Kalahkan Arab Saudi & Iran
Sementara itu, Afrika dan Amerika Latin mengandalkan China untuk membeli komoditas mereka.
Rekan senior di American Enterprise Institute, Desmond Lachman, mengatakan, tidak mungkin ekonomi China dapat melampaui AS dalam satu atau dua dekade mendatang.
Ia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China melambat menjadi 3% dan pengangguran di kalangan kaum muda China sudah di atas 20%. "Kondisi ini juga tidak baik untuk ekonomi di negara lainnya," ujarnya seperti dilansir dari Reuters, Rabu (19/7).
Sebagai perbandingan, ketika ekonomi Jepang mulai memasuki masa stagnan pada 1990-an, Jepang telah melampaui rata-rata Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita negara berpenghasilan tinggi dan mendekati level AS. Sementara PDB China hanya sedikit di atas titik pendapatan menengah.
Baca Juga: Jusuf Kalla Menyebut Lebih dari 50% Ekonomi Indonesia Dikuasai Orang China
Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal kedua sebesar 6,3% kurang memuaskan mengingat basis rendah yang disebabkan penguncian COVID-19 tahun lalu, meningkatkan tekanan pada para pemimpin China yang diharapkan bertemu bulan ini untuk membahas dorongan jangka pendek dan perbaikan jangka panjang.
Data April-Juni menempatkan pertumbuhan 2023 di jalur sekitar 5%, dengan tingkat yang lebih lambat setelahnya. Tetapi pertumbuhan tahunan China rata-rata sekitar 7% dekade terakhir, dan lebih dari 10% pada tahun 2000-an.
Didorong oleh hilangnya momentum tersebut, para ekonom tidak lagi menganggap lemahnya konsumsi rumah tangga dan investasi sektor swasta sebagai akibat pandemi, malah menyalahkan penyakit struktural.
Ini termasuk pecahnya gelembung di sektor properti, yang menyumbang seperempat dari output; salah satu ketidakseimbangan terdalam antara investasi dan konsumsi; segunung utang pemerintah daerah; dan cengkeraman ketat Partai Komunis atas masyarakat, termasuk bisnis swasta.
Baca Juga: Investasi di China Tidak Aman, Perusahaan AS Alihkan Pusat Ekspansi ke Vietnam
Dan tenaga kerja dan basis konsumen China menyusut sementara kelompok pensiunan berkembang.
"Masalah demografis, hard landing sektor properti, beban utang pemerintah daerah yang berat, pesimisme sektor swasta serta ketegangan China-AS tidak memungkinkan kami untuk memiliki pandangan optimistis terhadap pertumbuhan jangka menengah hingga jangka panjang," kata Wang Jun, kepala ekonom di Huatai Asset Management.