Sumber: Bloomberg | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
Langkah ini dinilai sebagai upaya jangka pendek yang cukup baik di tengah hantaman krisis di tengah pandemi. Meskipun demikian, investasi berkelanjutan dengan nilai besar tetap sangat diperlukan untuk menyalurkan air bersih ke rumah-rumah penduduk.
World Bank turut memberi perhatian pada masalah air bersih ini. Menurutnya, dampak kesalahan pengelolaan ari dirasakan secara tidak proporsional oleh masyarakat miskin.
Masyarakat di kelas itu cenderung lebih mengandalkan air tadah hujan yang juga digunakan untuk pertanian. Air yang berisiko terkontaminasi benda asing ini digunakan untuk kebutuhan sanitasi dan pangan.
Masyarakat kurang mampu juga sulit mematuhi aturan pembatasan sosial karena kerap kali berkumpul dan berebut air bersih di sumber air terdekat.
Baca Juga: WHO: Negara dengan kasus corona tinggi perlu bersiap untuk pertempuran besar
Pada tahun 2050 mendatang, Houngbo memprediksi akan ada 5,7 miliar orang yang tinggal di daerah yang kesulitan air bersih selama satu bulan tiap tahunnya.
Clarissa Brocklehurst, dari Water Institute di University of North Carolina dan mantan ketua urusan air, sanitasi, dan kebersihan di UNICEF, menyayangkan kurangnya perhatian pemerintah negara-negara akan pentingnya air bersih untuk saat ini dan masa depan. Di sisi lain, mereka sibuk mengampanyekan budaya cuci tangan yang mungkin sulit dilakukan miliaran orang.
"Mencuci tangan sudah sejak lama saya lihat sebagai sesuatu yang kekanak-kanakan. Tiba-tiba, ini menjadi masalah hidup dan mati, orang-orang dewasa hanya mengajarkan lagu untuk mencuci tangan," ungkap Brocklehurst.
Baca Juga: Covid-19 membuat keadaan maritim Asia Pasifik jadi semakin rawan