Sumber: Bloomberg | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - Sudah delapan bulan sejak infeksi virus corona terdeteksi di Wuhan, China, dan virus ini masih terus menyebar ke seulurh penjuru dunia. Sudah tidak terhitung pula masalah sosial dan ekonomi yang muncul akibat wabah ini.
Penelitian terbaru dari PBB mengungkap bahwa kurangnya akses menuju air bersih jadi salah satu penyebab kasus infeksi masih terus terjadi sampai saat ini. Setidaknya dua dari lima orang di dunia ini tidak mampu mengakses air bersih.
Seperti sudah dikampanyekan oleh WHO sejak beberapa bulan lalu, mencuci tangan adalah salah satu cara paling efektif untuk membatasi penyebaran virus corona. Kelompok UN-Water dari PBB mengungkap bahwa saat ini sekitar 3 miliar orang tidak memiliki akses ke air yang mengalir dan sabun di rumah mereka.
Bukan cuma itu, 4 orang lainnya di dunia ini juga mengalami kesulitan air bersih selama satu bulan setiap tahunnya.
"Ini adalah situasi bencana bagi orang yang hidup tanpa akses ke air bersih dan sanitasi yang dikelola dengan aman. Kurangnya perhatian di bidang ini telah membuat miliaran orang rentan dan sekarang kita sedang menghadapi konsekuensinya," ungkap ketua UN-Water, Gilbert F. Houngbo kepada Bloomberg.
Baca Juga: Obat Avigan dari Jepang segera diuji untuk pengobatan corona, seberapa efektif?
Penundaan investasi di bidang sanitasi dan air bersih selama bertahun-tahun membuat banyak orang rentan terinfeksi virus corona. Bahkan bagi mereka yang sudah sembuh pun, poteni tertular kembali masih tetap tinggi.
Houngbo mengatakan bahwa dunia perlu menghabiskan $6,7 triliun untuk membangun infrastruktur air sampai tahun 2030 nanti. Infrastruktur terkait air bersih ini tidak hanya untuk kebutuhan sanitasi, tetapi juga untuk mengatasi masalah jangka panjang dari kasus pandemi semacam ini serta mencegah potensi krisis pangan di masa mendatang.
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa perusahaan telah turun tangan untuk menawarkan solusi. Dari Jepang, ada Lixil Group Corp. yang memiliki merek seperti American Standard dan Grohe. Perusahaan ini bekerja sama dengan UNICEF dan sejumlah mitra lainnya untuk membuat perangkat cuci tangan sederhana yang hanya membutuhkan sedikit air dan mudah dibawa.
Dengan modal sekitar $1 juta, mereka mampu membuat 500.000 unit perangkat tadi dan disumbangkan ke 2,5 juta orang di India secara gratis sebelum mulai dijual secara resmi.
Baca Juga: WHO larang negara maju monopoli vaksin virus corona, ini alasannya
Langkah ini dinilai sebagai upaya jangka pendek yang cukup baik di tengah hantaman krisis di tengah pandemi. Meskipun demikian, investasi berkelanjutan dengan nilai besar tetap sangat diperlukan untuk menyalurkan air bersih ke rumah-rumah penduduk.
World Bank turut memberi perhatian pada masalah air bersih ini. Menurutnya, dampak kesalahan pengelolaan ari dirasakan secara tidak proporsional oleh masyarakat miskin.
Masyarakat di kelas itu cenderung lebih mengandalkan air tadah hujan yang juga digunakan untuk pertanian. Air yang berisiko terkontaminasi benda asing ini digunakan untuk kebutuhan sanitasi dan pangan.
Masyarakat kurang mampu juga sulit mematuhi aturan pembatasan sosial karena kerap kali berkumpul dan berebut air bersih di sumber air terdekat.
Baca Juga: WHO: Negara dengan kasus corona tinggi perlu bersiap untuk pertempuran besar
Pada tahun 2050 mendatang, Houngbo memprediksi akan ada 5,7 miliar orang yang tinggal di daerah yang kesulitan air bersih selama satu bulan tiap tahunnya.
Clarissa Brocklehurst, dari Water Institute di University of North Carolina dan mantan ketua urusan air, sanitasi, dan kebersihan di UNICEF, menyayangkan kurangnya perhatian pemerintah negara-negara akan pentingnya air bersih untuk saat ini dan masa depan. Di sisi lain, mereka sibuk mengampanyekan budaya cuci tangan yang mungkin sulit dilakukan miliaran orang.
"Mencuci tangan sudah sejak lama saya lihat sebagai sesuatu yang kekanak-kanakan. Tiba-tiba, ini menjadi masalah hidup dan mati, orang-orang dewasa hanya mengajarkan lagu untuk mencuci tangan," ungkap Brocklehurst.
Baca Juga: Covid-19 membuat keadaan maritim Asia Pasifik jadi semakin rawan