Sumber: The Guardian | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr menetapkan keadaan darurat nasional (state of emergency) setelah Topan Kalmaegi menewaskan sedikitnya 114 orang dan membuat hampir 130 orang hilang di sejumlah provinsi tengah. Bencana ini menjadi yang paling mematikan di Filipina sepanjang tahun 2025.
Menurut Kantor Pertahanan Sipil Filipina, sebagian besar korban meninggal akibat tenggelam dalam banjir bandang, sementara 127 orang masih hilang, terutama di provinsi Cebu yang menjadi wilayah terdampak paling parah.
Setelah melanda kepulauan Filipina, Kalmaegi bergerak keluar menuju Laut China Selatan pada Rabu (5/11/2025).
2 Juta Warga Terdampak, Ratusan Ribu Mengungsi
Topan Kalmaegi memengaruhi hampir 2 juta penduduk, dengan lebih dari 560.000 warga terpaksa mengungsi, termasuk sekitar 450.000 orang yang harus dievakuasi ke tempat penampungan darurat.
Dalam pertemuan bersama pejabat tanggap darurat pada Kamis (6/11/2025), Presiden Marcos Jr menyatakan “keadaan bencana nasional” (state of national calamity) untuk mempercepat penyaluran dana darurat, serta mencegah penimbunan bahan makanan dan lonjakan harga di pasar.
Baca Juga: Inflasi Filipina yang Terkendali Buka Peluang Pemangkasan Suku Bunga pada Desember
Namun, di tengah upaya pemulihan dari dampak Kalmaegi, otoritas bencana memperingatkan adanya badai tropis baru dari Samudra Pasifik yang diperkirakan dapat menguat menjadi super topan dan menghantam wilayah utara Filipina awal pekan depan.
Helikopter Jatuh Saat Misi Kemanusiaan
Di antara korban tewas, terdapat enam anggota militer yang meninggal akibat kecelakaan helikopter Angkatan Udara Filipina di provinsi Agusan del Sur pada Selasa (4/11/2025).
Helikopter tersebut sedang dalam misi pengiriman bantuan kemanusiaan ke wilayah terdampak topan. Pihak militer belum mengungkap penyebab kecelakaan tersebut.
Cebu Jadi Pusat Bencana: 71 Orang Tewas
Topan Kalmaegi menyebabkan banjir bandang dan meluapnya sungai-sungai di provinsi Cebu, menenggelamkan kawasan pemukiman. Banyak warga terpaksa memanjat atap rumah untuk menyelamatkan diri sambil meminta pertolongan, menurut pejabat lokal.
Sedikitnya 71 orang tewas di Cebu, sebagian besar karena tenggelam, sementara 65 lainnya dilaporkan hilang dan 69 orang mengalami luka-luka. Di provinsi tetangga Negros Occidental, 62 orang masih dilaporkan hilang.
“Kami sudah melakukan segala upaya untuk menghadapi topan ini, tapi banjir bandang adalah hal yang sulit diprediksi,” ujar Gubernur Cebu, Pamela Baricuatro, melalui sambungan telepon.
Baca Juga: Filipina Perpanjang Larangan Impor Beras hingga Akhir 2025
Baricuatro menambahkan, kerusakan diperparah oleh aktivitas penambangan (quarrying) yang menyebabkan pendangkalan sungai, serta proyek pengendalian banjir berkualitas buruk di wilayahnya.
Skandal Korupsi Proyek Banjir Picu Kemarahan Publik
Filipina belakangan diguncang skandal korupsi proyek pengendalian banjir, di mana sejumlah proyek dilaporkan bermutu rendah atau bahkan tidak pernah dikerjakan. Skandal ini telah memicu kemarahan publik dan gelombang unjuk rasa di berbagai kota besar.
Kondisi Cebu kian sulit karena provinsi tersebut baru saja diguncang gempa bumi berkekuatan 6,9 magnitudo pada 30 September lalu, yang menewaskan setidaknya 79 orang dan membuat ribuan warga kehilangan tempat tinggal.
Selama badai berlangsung, kapal feri dan kapal nelayan dilarang beroperasi akibat gelombang tinggi, menyebabkan lebih dari 3.500 penumpang dan sopir truk kargo terlantar di hampir 100 pelabuhan, menurut Penjaga Pantai Filipina.
Baca Juga: Korban Tewas Akibat Topan Kalmaegi di Filipina Mencapai 114 Orang
Selain itu, sedikitnya 186 penerbangan domestik dibatalkan karena cuaca ekstrem.
Filipina merupakan salah satu negara paling rawan bencana di dunia, dengan rata-rata 20 topan dan badai setiap tahun. Negara ini juga kerap dilanda gempa bumi dan memiliki lebih dari selusin gunung berapi aktif, menjadikannya wilayah dengan tingkat risiko bencana alam yang sangat tinggi.













