Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tri Adi
Meski banyak pesaing, bisnis Leon Black justru makin berkibar. Black pun kian gencar membuat investasi baru. Hingga tahun 2014, pria kelahiran tahun 1951 ini telah menelurkan delapan equity fund dan mampu menggaet dana investor dalam jumlah besar. Seperti miliarder lain, di balik kesuksesan berbisnis, Black tidak lupa menyisikan dana untuk beramal. Tercatat Black pernah mengguyur dana US$ 40 juta ke lembaga riset yang fokus di penyakit kanker Melanoma.
Kesuksesan Leon Black mengelola bisnis private equity menginspirasi banyak pihak. Tak heran, jumlah perusahaan private equity seperti Apollo Global Management mulai bermunculan. Menjamurnya perusahaan sejenis rupanya berefek bagi bisnis miliarder asal Amerika Serikat (AS) tersebut.
Ia sempat kesulitan mendapatkan pendanaan dari investor. Terlebih pascakrisis tahun 1998. Persaingan yang ketat antar-private equity dan pasar yang tak mendukung membuat bisnis Black sempat sempoyongan.
Untungnya, Black lihai mengatur strategi. Pria yang kini berusia sekitar 65 tahun ini pun berhasil membawa Apollo Global Management melewati masa krisis. Black pun kembali menggalang dana dengan merilis private equity fund kelima pada tahun 2001 bertajuk Apollo Investment Fund V. Dalam fund tersebut, Black memperoleh suntikan dana dari investor sebesar US$ 3,7 miliar.
Seperti dikutip Bloomberg, nilai investasi ini kurang lebih sama dengan equity fund yang sebelumnya dirilis Black yakni sebesar US$ 3,6 miliar.
Pada tahun 2005, Black kembali merilis equity fund keenam. Menurut situs apolloic.com, investasi bernama Apollo Investment Fund VI ini mengelola dana investor sebesar US$ 10,2 miliar.
Selanjutnya di tahun 2008, Apollo Global Management membentuk Apollo Investment VII. Ini adalah fund Apollo Global ketujuh dengan dana kelolaan sebesar US$ 14,7 miliar.
Paling anyar, Black membentuk fund di tahun 2014. Ini adalah Apollo Investment Fund ke VIII dengan investasi US$ 18,4 miliar.
Perjalanan karier Black dalam membangun Apollo membuat pria ini menjadi investor yang paling aktif. Setelah tahun 2005, suami dari Debra Black memang cukup rajin menelurkan fund anyar.
Nah, saat ini Black mengakui dirinya memang lebih fokus membuat investasi baru ketimbang menjual hasil investasinya. The Wall Street Journal menulis, hal ini berbeda dengan apa yang dikatakan Black tiga tahun lalu.
Kala itu, Black lebih suka untuk menjual investasi yang ia miliki. Dia memiliki prinsip jual apa yang bisa dijual. Kalimat ini bahkan menjadi ciri khas Black.
Malah prinsip ini menjadi pedoman para pelaku bisnis private equity yang pada masa itu penjualan perusahaan mempunyai nilai investasi tinggi.
Perubahan sikap Black ini mungkin bisa menjadi tanda kalau kondisi pasar saat ini memang lagi kurang cocok untuk berinvestasi lewat penjualan perusahaan. "Sekarang, lebih baik menanam dan membangun nilai investasi," kata dia kepada The Wall Street Journal.
Meski sudah bergelimang harta dan menjadi miliarder dari berbisnis private equity, ayah dari empat orang ini tak lupa daratan. Seperti juga miliarder lain, Black gemar beramal. Ia pernah mendonasikan dana US$ 40 juta ke sebuah lembaga riset yang fokus pada penyembuhan penyakit Melanoma. Ia memang sempat mengidap penyakit tersebut, sejenis kanker yang menyebar di bagian kulit.
Black juga memiliki ketertarikan di bidang seni. Dia rela merogoh kocek hingga US$ 120 juta untuk membeli lukisan karya Edvard Much berjudul The Scream. Selain itu, artnews.com menuliskan, pada tahun lalu, Black membeli satu set buku kuno Babylonian Talmud senilai US$ 9 juta. Buku kuno tersebut merupakan karya sastra asal Ibrani.
Black membeli naskah kuno itu pada acara lelang Sotheby's di New York. Black yang gemar membaca buku merasa pembelian dengan harga mahal tersebut sangat wajar. Bagi dia, membaca itu seperti makan jadi sudah menjadi sebuah kebutuhan.
(Selesai)