Sumber: Harian KONTAN, 4 Oktober 2011 | Editor: Catur Ari
Masa lalu Huang Nubo memang tragis. Sejak kecil dia telah kehilangan ayah yang tewas bunuh diri. Huang pun tak lama mengenyam kasih sayang ibu yang juga meninggal setelah menghirup gas beracun. Namun nestapa itu juga yang membuat Huang jadi tegar. Bisa jadi karena masa lalu yang kelam, Huang kini jadi pecinta sastra dan puisi karena memiliki perasaan yang peka. Dia pun banyak menyumbang dana untuk pengembangan karya sastra China.
Sebagai yatim piatu, masa kecil Huang Nubo dihabiskan dengan penuh kesedihan. Anak desa Lanzhou, daerah otonomi Ningxia Hui, China ditinggal mati sang ayah yang merupakan seorang perwira angkatan bersenjata Republik China. Sebagai prajurit, ayah Huang tidak mati di medan perang. Ayahnya mati bunuh diri saat Huang masih anak-anak.
Ayahnya tak tahan menghadapi kritikan tajam atas kesalahan yang dilakukannya dalam tugas. Selain harus kehilangan kasih sayang ayah, Huang juga harus merelakan ibunya meninggal karena tewas keracunan gas saat bertugas. Kesedihan nya tak hanya berhenti di situ. Huang juga harus menelan pil pahit setelah ditinggal pergi sang istri saat kariernya menuju puncak, termasuk pengkhianatan yang dilakukan oleh teman-teman tepercaya.
Berbagai pengalaman hidup yang menyedihkan mempengaruhi perilaku Huang. Dia jadi tidak bisa mempercayai akan arti persahabatan sesungguhnya.
Walaupun begitu, pengalaman masa kecil membuat Huang lebih manusiawi. Dia banyak memberikan donasi untuk berbagai program sosial terutama yang berhubungan dengan anak-anak. Selain itu, perasaannya juga lebih peka sehingga menyukai karya sastra.
Kecintaannya terhadap karya sastra dia buktikan dengan berbagai puisi karyanya. Memakai nama pena Lou Ying, Huang cukup produktif dengan menulis sejumlah antologi puisi dan novel. Selain itu, kecintaannya terhadap dunia sastra juga diwujudkan dengan sumbangan senilai 30 juta Yuan bagi komunitas puisi China pada 2005.
Pengalaman hidup semasa kecil terus membayangi Huang. Bahkan, dalam berbagai karya yang diterbitkan, dia sering menggambarkan dirinya sebagai seorang penyair gelandangan kecil. Selain itu, berbagai tulisan dan puisi yang menggambarkan kerasnya kehidupan kota juga banyak dibuatnya.
Karya -karya sastra miliknya terus dipublikasikan sejak awal 1990-an. Salah satu judul karya miliknya adalah Sun, yang menjadi novel gambar pertama di China pada 2005. Tak hanya karya sastra kontemporer, Huang juga menyukai hasil penelitian budaya tradisional China.
Kesukaannya inilah yang kemudian mendorongnya untuk menyumbangkan dana senilai RMB 1 juta. Dana yang disalurkan melalui Beijing Zhongkun Investment Group ini digunakan untuk mendirikan Cina Research Fund di Universitas Peking (PKU) khusus pada studi sastra tradisional China. Penyerahan dana dilakukan dalam sebuah upacara pada 18 Agustus 2006 di Yingjie Exchange Center.
Huang memang dekat dengan PKU karena universitas itu memang almamater. Dalam pidatonya, dia menekankan bantuan itu adalah bentuk dukungan kepada universitas untuk meneliti budaya China. Selain itu, bantuan ini juga menjadi bentuk rasa terima kasih dirinya terhadap universitas.
Tak hanya itu, untuk mendukung perkembangan puisi, pada Januari 2006, Huang menyumbangkan RMB 10 juta untuk pengembangan Departemen Bahasa dan Sastra China, PKU. Sebelumnya, Juni 2004, dia juga menyumbangkan RMB 1 juta untuk dana pengembangan Akademik Zhongkun di Departemen Bahasa dan Sastra Cina, PKU.
Berbagai kontribusi Huang pada pengembangan sastra dan PKU, membuat dia memperoleh aneka penghargaan. Pada Oktober 2010 dia dianugerahi sebagai Seratus Alumnus Terkenal pada peringatan 100 tahun Fakultas Sastra Cina. Dia juga didaulat menjadi Wakil Presiden Akademi Puisi Baru China PKU. Selain itu Huang juga diangkat sebagai Direktur Eksekutif Asosiasi Puisi China dan Anggota Asosiasi Penulis China.
(Bersambung)