Reporter: SS. Kurniawan | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan, Arab Saudi harus mempertimbangkan untuk mengerek pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 10%, dari saat ini sebesar 5%.
IMF menekankan, sangat penting bagi eksportir minyak utama dunia itu untuk meningkatkan posisi fiskal di tengah tren penurunan harga emas hitam.
Mengutip Reuters, dalam laporan Juni yang terbit Senin (9/9), IMF mengatakan, kebijakan fiskal yang lebih ketat diperlukan, karena defisit anggaran Arab Saudi diproyeksikan akan melebar.
Baca Juga: Menteri Energi Arab Saudi baru: Tidak ada perubahan radikal dalam kebijakan minyak
Minyak masih mendominasi penerimaan Arab Saudi, negara ekonomi terbesar di kawasan Timur Tengah, meskipun Putra Mahkota Mohammed bin Salman menyatakan, ia bermaksud melakukan diversifikasi.
Arab Saudi baru-baru ini memutuskan untuk menahan produksi minyak mentah sesuai kesepakatan OPEC guna mendukung pasar minyak. Tapi, permintaan minyak yang melambat plus ekonomi global yang melemah membuat harga di bawah tekanan.
Ini jelas membebani pertumbuhan ekonomi Arab Saudi, dengan beberapa ekonom memperkirakan kontraksi tahun ini.
Baca Juga: Anak raja Arab jadi menteri energi, harga minyak terus mendaki
IMF memperkirakan, defisit anggaran Arab Saudi meningkat tahun ini menjadi 6,5% terhadap produk domestik bruto (PDB), dari tahun lalu sebesar 5,9%. Sebab, pengeluaran pemerintah yang lebih tinggi kemungkinan akan membatasi pertumbuhan ekonomi non-minyak yang lebih kuat.
Arab Saudi mulai memungut PPN 5% pada Januari 2018 untuk meningkatkan pendapatan non-minyak, setelah harga minyak anjlok mulai pertengahan 2014.
Karena itu, sebagai bagian dari serangkaian langkah konsolidasi fiskal, IMF menyarankan, agar Arab Saudi mempertimbangkan kenaikan PPN, dari 5% menjadi 10%, setelah berkonsultasi dengan Dewan Kerjasama Teluk.
Belanja Pemerintah Arab Saudi naik 6% pada paruh pertama tahun ini dibanding periode yang sama tahun lalu. Ini sejalan dengan target anggaran untuk mendongkrak pengeluaran sebesar 7% pada 2019 untuk memacu pertumbuhan.
Baca Juga: Harga minyak terus naik, Arab Saudi beri sinyal pemotongan pasokan OPEC berlanjut
IMF menyebutkan, pendulum fiskal Arab Saudi telah berayun terlalu jauh ke arah mendukung pertumbuhan jangka pendek dan implementasi reformasi. Dan, rencana pemerintah menyeimbangkan anggaran pada 2023 sangat bergantung pada asumsi optimistis harga minyak.
"Jika harga minyak turun tajam, negara itu akan menghadapi defisit fiskal yang besar, tetapi dengan cadangan fiskal yang lebih lemah dari tahun 2014," sebut IMF.
Menurut Jean-Michel Saliba, Ekonom Bidang Timur Tengah dan Afrika Utara Bank of America Merrill Lynch, pergeseran prioritas pembuatan kebijakan pertumbuhan Arab Saudi mempersulit konsolidasi fiskal.
Baca Juga: Kali pertama dalam sejarah, Arab Saudi punya menteri energi baru seorang pangeran
"Langkah bertahap dan pelan dalam fiskal yang lebih tinggi, ditambah dengan erosi cadangan fiskal sejak 2014, telah meningkatkan kerentanan ekonomi terhadap penurunan berkelanjutan dalam harga minyak," kata Saliba kepada Reuters.
Pemerintah Arab Saudi, Saliba menambahkan, baru bisa menyeimbangkan anggarannya jika harga minyak berada di level US$ 93 per barel. Awal tahun ini, IMF mengatakan, Arab Saudi membutuhkan harga minyak pada US$ 80-US$ 85 per barel untuk membuat fiskal seimbang.