Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Inggris kembali memperketat sanksi terhadap Rusia dengan menargetkan dua raksasa minyak negara tersebut, Lukoil dan Rosneft, serta 44 kapal tanker dalam armada “shadow fleet”.
Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya baru untuk “mencekik” sumber pendapatan Kremlin dan mempersempit ruang gerak ekspor energi Rusia.
Kedua perusahaan itu ditetapkan di bawah undang-undang sanksi Rusia Inggris atas peran mereka dalam mendukung pemerintah Rusia. Sanksi mencakup pembekuan aset, larangan direktur, pembatasan transportasi, serta larangan layanan trust asal Inggris.
Menurut pernyataan resmi, Lukoil dan Rosneft dianggap memiliki signifikansi strategis bagi Kremlin, karena aktivitas bisnis mereka berkontribusi besar terhadap pendapatan negara yang digunakan untuk mendanai perang di Ukraina.
Inggris: “Tak Ada Tempat bagi Rusia di Pasar Global”
“Kami memperkenalkan sanksi terarah terhadap dua perusahaan minyak terbesar di Rusia, Lukoil dan Rosneft,” ujar Menteri Keuangan Inggris Rachel Reeves dalam kunjungannya ke Amerika Serikat.
Baca Juga: Amerika Serikat (AS) Desak Jepang Hentikan Impor Energi dari Rusia
“Pada saat yang sama, kami juga meningkatkan tekanan terhadap perusahaan-perusahaan di negara ketiga — termasuk India dan China — yang terus memfasilitasi ekspor minyak Rusia ke pasar global,” tambahnya.
Selain dua raksasa minyak tersebut, Inggris juga menjatuhkan sanksi kepada perusahaan kilang China Shandong Yulong Petrochemical serta beberapa operator pelabuhan di provinsi Shandong, seperti Shandong Jingang Port, Shandong Baogang International, dan Shandong Haixin Port.
Perusahaan China dan India Ikut Terseret
Yulong Petrochemical, perusahaan patungan antara Nanshan Group dan Shandong Energy Group, adalah kilang terbaru dan terbesar di China dengan kapasitas pemrosesan mencapai 400.000 barel per hari. Kilang ini termasuk salah satu pembeli minyak Rusia terbesar di Asia.
Sementara itu, Nayara Energy, kilang milik Rusia yang berbasis di Mumbai, India — dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Rosneft — juga masuk dalam daftar sanksi terbaru Inggris. Nayara telah lebih dulu dikenai sanksi oleh Uni Eropa dan kini tengah berupaya mempertahankan operasi bisnisnya.
Baik Yulong Petrochemical maupun Nayara belum memberikan komentar resmi atas keputusan tersebut.
Reaksi Rusia: Sanksi Akan “Berbalik Menyakiti” Inggris
Kedutaan Besar Rusia di London menilai langkah Inggris ini justru akan menjadi bumerang. “Bertentangan dengan pernyataan para pemimpin Inggris, pembatasan ini tidak akan memengaruhi arah kebijakan luar negeri Rusia.
Baca Juga: Harga Minyak Naik, Terdorong Janji India untuk Menghentikan Pembelian dari Rusia
Sebaliknya, sanksi ini akan mengguncang pasar energi global dan menaikkan biaya bagi bisnis serta konsumen Inggris,” demikian pernyataan Kedubes Rusia.
Dampak terhadap Pasar dan Armada “Shadow Fleet”
Selain perusahaan, Inggris juga menargetkan 51 kapal, termasuk 44 kapal dari armada “shadow fleet” — jaringan kapal tanker tua yang digunakan untuk menghindari sanksi terhadap minyak Rusia.
Sanksi ini mencakup tujuh kapal LNG dan terminal Beihai LNG di China, yang diketahui mengimpor kargo dari fasilitas Arctic LNG2 milik Rusia yang telah disanksi sebelumnya.
Langkah tersebut diperkirakan akan mengurangi ketersediaan kapal dan asuransi pengiriman untuk minyak Rusia, karena beberapa pengangkutan masih dilakukan dengan jasa perusahaan asuransi berbasis Inggris.
Akibatnya, perdagangan minyak Rusia akan semakin bergantung pada shadow fleet yang menggunakan layanan non-Barat.
Baca Juga: Trump Umumkan India Setuju Stop Beli Minyak Rusia, China Jadi Target Berikutnya
Namun, tantangan tetap muncul karena sejumlah pelabuhan di China dan India sebelumnya menolak untuk membongkar muatan dari kapal-kapal dalam shadow fleet, memperumit rantai pasok ekspor minyak Rusia.
Tekanan Internasional terhadap Armada Bayangan
Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, armada shadow fleet menjadi sasaran utama sanksi dari Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Armada ini kini diperkirakan telah berjumlah lebih dari 1.500 kapal, menurut analis Barat.
Rosneft diketahui memproduksi sekitar 40% dari total output minyak Rusia, sementara Lukoil menjadi produsen kedua terbesar dan memiliki eksposur internasional paling luas di antara perusahaan minyak Rusia lainnya.