Sumber: TheIndependent.co.uk | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Myanmar, yang saat ini dipimpin oleh pemerintahan junta militer, mengeluarkan seruan langka untuk bantuan internasional setelah dihantam oleh Badai Yagi, badai terkuat di Asia tahun ini.
Badai ini memicu banjir besar yang telah menyebabkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal di tengah krisis ekonomi yang semakin parah. Setidaknya 33 orang tewas, dan lebih dari 235.000 orang terpaksa mengungsi, menurut laporan resmi junta.
Dampak Parah Badai Yagi di Myanmar
Kekhawatiran muncul bahwa jumlah korban sebenarnya bisa jauh lebih tinggi, mengingat skala kehancuran yang baru saja terungkap. Komunikasi dengan sebagian besar wilayah yang terdampak terputus akibat tanah longsor dan banjir besar.
Baca Juga: Jumlah Korban Tewas Akibat Banjir di Myanmar Meningkat Menjadi 113
Myanmar merupakan salah satu negara terakhir yang dilanda Yagi, setelah badai ini melewati Filipina, China, Vietnam, dan Thailand, menewaskan lebih dari 300 orang di seluruh Asia.
Banjir besar menghantam ibu kota Naypyidaw, yang merupakan bagian dari area seluas sekitar 162 km persegi yang paling parah terkena banjir pada Kamis, berdasarkan analisis citra satelit oleh Unit Manajemen Informasi Myanmar (MIMU) yang didukung oleh PBB. Kota terbesar kedua di Myanmar, Mandalay, juga sangat terpengaruh oleh bencana ini.
Krisis Berkepanjangan: Banjir di Tengah Perang Saudara
Bencana banjir ini memperparah sejumlah tantangan yang sudah ada di Myanmar, yang sedang dilanda perang saudara dan konflik antara kelompok etnis sejak militer mengambil alih kekuasaan dalam kudeta pada 2021. Perang telah membawa krisis ekonomi yang sangat parah, memukul ekspor dan membuat rakyat semakin terpuruk.
Seruan bantuan dari junta militer ini merupakan langkah penting, mengingat sebelumnya militer Myanmar sering kali menolak bantuan kemanusiaan dari luar negeri. Sekitar sepertiga dari 55 juta penduduk Myanmar bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Namun, banyak lembaga bantuan seperti Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mengaku sulit beroperasi di banyak daerah karena pembatasan akses dan risiko keamanan.
Baca Juga: Militer Myanmar Bantah Terjadi Kudeta Internal
Kehancuran Infrastruktur dan Kondisi Kesehatan yang Memburuk
Laporan-laporan menunjukkan bahwa tanah longsor dan banjir telah memutus jalan-jalan, jembatan, dan menghancurkan menara listrik, bangunan, serta rumah-rumah warga.
Ratusan penduduk desa, termasuk anak-anak, terpaksa menyeberangi air setinggi dada untuk mengungsi ke lokasi yang lebih aman. Banyak orang bahkan harus berlindung di atas pohon semalaman untuk bertahan hidup dari air banjir yang deras.
Selain itu, perahu dan rakit bambu digunakan untuk mengevakuasi penduduk karena banyak rumah yang tenggelam oleh air berlumpur. Kondisi ini tidak hanya mengganggu kehidupan sehari-hari, tetapi juga memicu risiko penyebaran penyakit yang ditularkan melalui air, memperparah kondisi kesehatan yang sudah sangat terbatas di negara itu.
Tantangan Bantuan Internasional di Myanmar
Seruan langka Myanmar untuk bantuan internasional ini muncul setelah militer sebelumnya memblokir bantuan kemanusiaan dari luar negeri. Pada tahun 2008, ketika siklon Nargis menewaskan 138.000 orang, junta militer saat itu dituduh menghalangi bantuan darurat dan menolak memberikan akses kepada pekerja kemanusiaan serta pasokan bantuan.
Keadaan ini diperburuk oleh keputusan Myanmar pada tahun lalu yang menangguhkan akses bagi kelompok-kelompok bantuan yang berupaya mencapai satu juta korban yang terdampak oleh siklon Mocha yang kuat.
Baca Juga: Sengketa Laut China Selatan dan Konflik di Myanmar Jadi Bahasan Diplomat Tinggi ASEAN
Sementara itu, lebih dari 2,6 juta orang telah mengungsi akibat perang saudara yang telah berlangsung selama tiga tahun, yang menewaskan ribuan orang. Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyatakan bahwa lebih dari 18,6 juta orang di Myanmar saat ini membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Banjir yang disebabkan oleh Badai Yagi diperkirakan akan meningkatkan penyebaran penyakit yang ditularkan melalui air, seperti diare dan kolera, serta memperburuk akses terhadap air bersih dan sanitasi.
Keterbatasan layanan kesehatan semakin membuat situasi kemanusiaan di Myanmar kian genting. Presiden ICRC, Mirjana Spoljaric, memperingatkan bahwa kondisi ini akan memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah ada, terutama bagi mereka yang telah kehilangan mata pencaharian akibat konflik bersenjata dan kekerasan.