kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.503.000   7.000   0,47%
  • USD/IDR 15.511   28,00   0,18%
  • IDX 7.751   15,91   0,21%
  • KOMPAS100 1.205   2,84   0,24%
  • LQ45 962   3,32   0,35%
  • ISSI 234   0,74   0,32%
  • IDX30 494   1,67   0,34%
  • IDXHIDIV20 593   2,52   0,43%
  • IDX80 137   0,32   0,23%
  • IDXV30 142   -0,47   -0,33%
  • IDXQ30 164   0,41   0,25%

Kebangkrutan Korporasi Capai US$ 500 Miliar Landa Perekonomian Global


Rabu, 19 Juli 2023 / 13:52 WIB
Kebangkrutan Korporasi Capai US$ 500 Miliar Landa Perekonomian Global
ILUSTRASI. Seseorang mengambil foto sambil melihat ke arah cakrawala Manhattan di Winter Solstice di Brooklyn, New York City, AS, Selasa (21/12/2021). Kebangkrutan Korporasi Capai US$ 500 Miliar Landa Perekonomian Global.


Reporter: Vina Destya | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  NEW YORK. Gelombang kebangkrutan korporasi saat ini tengah terjadi karena era uang mudah telah berakhir, hal ini menggantikan kekhawatiran akan krisis kredit yang mulai mereda.

Richard Cooper sebagai mitra di Cleary Gottlieb yaitu firma hukum terkemuka untuk kebangkrutan perusahaan, telah memberikan saran kepada bisnis di seluruh dunia selama beberapa dekade terakhir terkait apa yang harus dipersiapkan dan dilakukan ketika mereka menghadapi utang.

Melansir Bloomberg, Richard telah berhasil melewati krisis keuangan global, krisis minyak tahun 2016, dan krisis yang baru-baru ini terjadi akibat pandemi Covid-19. Dan ia harus mengulang kembali kejadian krisis tersebut saat ini.

“Rasanya berbeda dengan siklus-siklus sebelumnya, Anda akan melihat banyak gagal bayar,” ujar Richard dikutip dari Bloomberg, Rabu (19/7).

Baca Juga: Kinerja Sektor Konstruksi Dibayangi Beban Utang, Simak Rekomendasi Sahamnya

Menurut data yang telah dicatat Bloomberg, apa yang telah dilakukan Richard saat ini memberikan gambaran tentang badai utang korporasi senilai lebih dari US$ 500 miliar, dari jumlah ini masih ada kemungkinan untuk terus bertambah.

Hal ini membuat kekhawatiran Wall Street semakin bertambah dengan mengancam perlambatan pertumbuhan ekonomi dan membebani pasar kredit yang baru saja mencoba untuk bangkit dari penurunan yang dialami dalam beberapa dekade terakhir.

Awalnya, masalah dispekulasikan terjadi karena perusahaan-perusahaan yang dirusak oleh kekuatan seperti perubahan teknologi dan munculnya pekerjaan jarak jauh di Hongkong, London, dan San Fransisco.

Tetapi, masalah yang lebih dalam ada pada beban utang yang membengkak selama era uang yang sangat murah. Hal itu menjadi beban yang lebih berat karena bank-bank sentral menaikkan suku bunga dan tampaknya akan dipertahankan lebih lama dari yang telah diperkirakan oleh hampir semua orang di Wall Street.

Karena terkejut dengan inflasi yang melonjak, para pembuat kebijakan secara agresif menguras uang tunai dari sistem keuangan dunia. Dan dengaan sengaja berusaha memperlambat ekonomi mereka dengan menahan aliran kredit ke bisnis. Karena upaya yang cukup agresif ini, beberapa di antaranya akan gagal.

Baca Juga: Prospek Investasi Obligasi 2023 Diperkirakan Cerah, Ini Alasannya

Namun, beberapa kantong kredit korporat terlihat cukup rentan setelah membengkak selama bertahun-tahun dengan suku bunga yang rendah. Ketika salah satu perusahaan goyah pun, dapat dengan mudah meminjam untuk menunda perhitungan.

Di Amerika Serikat (AS) sendiri, jumlah obligasi yang memiliki imbal hasil tinggi dan pinjaman dengan leverage yang dimiliki oleh bisnis dengan risiko tinggi dan kurang layak kredit meningkat lebih dari dua kali lipat di tahun 2021 dengan total US$ 3 triliun, dibandingkan saat tahun 2008.

Menurut data S&P Global, dalam periode yang sama utang perusahaan non-keuangan Tiongkok melonjak relatif terhadap ukuran ekonomi negara itu sendiri. Sedangkan di Eropa, penjualan obligasi melonjak lebih dari 40% pada tahun 2021.

Banyak dari sekuritas tersebut harus dilunasi dalam beberapa tahun ke depan, dan berkontribusi pada utang senilai US$ 785 miliar yang akan jatuh tempo.

The Fed dikabarkan akan terus menaikan suku bunga meskipun pertumbuhan di China dan Eropa sudah mulai mendingin. Di AS saja tumpukan obligasi dan pinjaman bermasalah telah melonjak lebih dari 360% sejak tahun 2021.

Hal yang ditakutkan pun terjadi, dengan lebih dari 120 kebangkrutan besar di AS pada tahun 2023 ini. Kurang dari 15% dari hampir US$ 600 miliar utang yang diperdagangkan pada tingkat tertekan secara global telah benar-benar gagal bayar. Sisanya, perusahaan-perusahaan yang berhutang lebih dari setengah triliun akan kesulitan atau bahkan gagal untuk membayarnya.

Moody’s Investors Service mengatakan bahwa tingkat gagal bayar untuk perusahaan-perusahaan kelas spekulatif di seluruh dunia diperkirakan akan mencapai 5,1% di tahun depan. Angka ini naik 3,8% dalam 12 bulan yang berakhir di bulan Juni 2023.

Baca Juga: Bagaimana Nasib Ekonomi Indonesia saat Negara Tetangga Sri Langka Bangkrut?

Dalam skenario yang paling pesimis, tingkat gagal bayar bahkan bisa mencapai 13,7% melebihi tingkat yang dicapai pada krisis kredit di tahun 2008 – 2009.

Kenaikan yang relatif kecil dalam gagal bayar akan menambah tantangan lain bagi perekonomian. Di mulai dari semakin banyak investor dan bank yang menarik diri dari pemberian pinjaman, perusahaan yang kesulitan dalam masalah pembiayaan, dan dampak pada belanja konsumen karena akan ada masa karyawan yang dirumahkan.

Tentu saja masih banyak hal baik yang dapat terjadi. Contohnya adalah perekonomian AS yang secara mengejutkan tetap kokoh menghadapi biaya pinjaman yang tinggi, serta perlambatan inflasi yang cukup stabil meningkatkan spekulasi bahwa The Fed mungkin akan mengarahkan perekonomian ke arah soft landing.

Canary Wharf Group merasakan dampak yang cukup hebat sejak adanya pandemi, pengembang yang peringkat kreditnya telah dipangkas jauh ke level bawah karena tingkat kekosongan bangunan meningkat dan para peritel mengalami kesulitan. Perusahaan ini memiliki lebih dari £1,4 miliar atau sekitar US$ 1,8 miliar utang yang akan jatuh tempo pada tahun 2024 dan 2025.

Baca Juga: Restrukturisasi Utang Disahkan, Waskita Beton (WSBP) Lolos dari Ancaman Pailit

Perusahaan ekuitas swasta berkembang dengan kredit yang mudah berkat strategi sederhana yaitu cari perusahaan untuk dibeli, pinjam uang dari Wall Street, lalu pangkas biaya untuk mendapatkan keuntungan.

Namun hal ini seringkali membuat perusahaan-perusahaan tersebut terlilit utang yang besar, sering kali dengan pinjaman suku bunga yang mengambang. Lebih dari US$ 70 miliar utang dari perusahaan-perusahaan yang dimiliki ekuitas swasta diperdagangkan pada tingkat yang tertekan, salah satunya adalah perusahaan percetakan foto online Shutterfly LLC.

Hal ini tidak terlalu berpengaruh ketika The Fed menetapkan suku bunga mendekati  nol. Beberapa perusahaan yang membeli tampaknya melihat sedikit risiko bahwa suku bunga akan naik dan memlih untuk tidak membeli lindung nilai yang relatif murah yang akan melindungi perusahaan mereka.




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Efficient Transportation Modeling (SCMETM) Penerapan Etika Dalam Penagihan Kredit Macet

[X]
×