Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Seperti mantan pemilik kasino yang dikenal gemar mengambil risiko, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali melakukan manuver besar dalam masa kepemimpinannya.
Serangan udara AS terhadap Iran bisa jadi menjadi taruhan politik terbesar Trump sejauh ini.
Meski berpotensi mendulang keuntungan politik yang tinggi terutama jika ia mampu mempertahankan perdamaian rapuh antara Israel dan Iran, para pengamat menilai Trump juga menghadapi risiko besar jika situasi di luar kendali, apalagi dengan publik AS yang kian skeptis.
Baca Juga: Perintah Trump Tak Dihiraukan, Israel Serang Teheran di Tengah Gencatan Senjata
Untuk saat ini, Trump tampaknya berhasil mempertaruhkan bahwa AS bisa membatasi keterlibatan langsung dan memaksa kedua pihak menyepakati gencatan senjata.
"Dia mempertaruhkan sesuatu, dan untuk saat ini, keberuntungan berpihak padanya," kata Firas Maksad, Direktur Pelaksana untuk Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara di Eurasia Group.
Namun, apakah gencatan senjata ini akan bertahan masih menjadi tanda tanya besar. Pada Selasa (23/6) pagi, Trump menyampaikan kekecewaannya atas serangan Israel ke Teheran hanya beberapa jam setelah ia menyatakan dimulainya jeda serangan.
Jika kesepakatan damai gagal atau Iran pada akhirnya membalas secara militer atau ekonomi, Trump bisa kehilangan dukungan dari basis pendukung “America First” yang mengantarkannya kembali ke Gedung Putih.
Hal ini juga dapat memperlemah identitas gerakan MAGA (Make America Great Again) yang kian tidak jelas arahnya.
"Jika enam bulan dari sekarang Iran masih menjadi masalah, itu akan mengikis koalisi MAGA," ujar analis politik dari American Enterprise Institute, Chris Stirewalt.
Stirewalt juga menyebut Trump telah melanggar janji kampanyenya untuk tidak menyeret AS ke dalam perang baru di Timur Tengah sebuah langkah yang bisa memicu kegelisahan di antara para pemilih konservatif.
Baca Juga: Gencatan Senjata Dimulai! Trump Peringatkan Iran: Jangan Melanggarnya
Keputusan yang Mendadak
Pernyataan Trump yang menyebut akan butuh dua minggu untuk memutuskan apakah AS ikut perang di pihak Israel tampak bertolak belakang dengan tindakannya yang justru menyetujui serangan udara hanya dua hari kemudian tanpa memberi sinyal jelas sebelumnya kepada publik.
Langkah Trump menyerang Iran juga membuka tantangan baru bagi siapa pun yang kelak mengklaim sebagai pewaris gerakan MAGA.
"Pada 2028, isu intervensi luar negeri akan menjadi garis pembeda utama. Ini akan jadi ujian ideologis bagi gerakan MAGA," kata Stirewalt.
Wakil Presiden JD Vance, tokoh pemerintahan yang dikenal paling isolasionis didorong untuk membela keputusan Trump dalam program berita Minggu pagi.
Vance sendiri disebut-sebut sebagai salah satu kandidat pewaris MAGA di masa depan, dan kini harus berdamai dengan rekam jejak politiknya sendiri.
Baca Juga: Powell: The Fed Butuh Waktu Sebelum Turunkan Suku Bunga, Trump Desak Pemangkasan
Serangkaian Taruhan Besar
Iran bukan satu-satunya contoh taruhan politik besar Trump. Kebijakan tarif yang berubah-ubah menimbulkan ketidakpastian di pasar dan kekhawatiran inflasi.
Ambisinya untuk memangkas birokrasi mandek setelah Elon Musk hengkang dari lingkaran penasihatnya. Sementara dorongan keras dalam kebijakan imigrasi justru memicu protes nasional.
Namun, bila Trump berhasil memaksa Iran menghentikan ambisi nuklirnya, itu bisa menjadi pencapaian besar dalam warisan politiknya di kawasan yang telah menjebak banyak presiden AS ke dalam konflik panjang, seperti di Irak dan Afghanistan.
Meski begitu, publik AS tampak belum sepenuhnya mendukung agresivitas Trump terhadap Iran.
Survei Reuters/Ipsos yang dirilis Senin lalu sebelum gencatan senjata diumumkanmenunjukkan hanya 36% responden mendukung serangan ke fasilitas nuklir Iran.
Secara keseluruhan, tingkat persetujuan terhadap Trump turun ke 41%, titik terendah dalam masa jabatan keduanya.
Baca Juga: Trump Geram: Israel dan Iran Langgar Gencatan Senjata, "Bawa Pulang Pilot Kalian!"