Sumber: New York Times | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Pengakuan epidemi pertama Xi terjadi pada 20 Januari, ketika instruksi singkat dikeluarkan atas namanya. Penampilannya di depan umum pertama setelah penguncian Wuhan pada 23 Januari datang dua hari kemudian, ketika ia memimpin pertemuan puncak Partai Komunis, Komite Tetap Politburo, yang ditayangkan secara panjang lebar di televisi Tiongkok. "Kami yakin bisa menang dalam pertempuran ini," katanya.
Saat itu, jumlah korban tewas adalah 106. Ketika jumlah korban terus meningkat, Xi mengizinkan pejabat lain untuk mengambil peran yang lebih terlihat. Satu-satunya penampilan Xi adalah bertemu pengunjung asing di Aula Besar Rakyat atau memimpin pertemuan Partai Komunis.
Pada 28 Januari, Xi bertemu dengan direktur eksekutif Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, dan memberi tahu Dr. Tedros bahwa ia "secara langsung" mengarahkan respons pemerintah. Kemudian laporan di media pemerintah seakan menganulir pengakuannya dengan memberitakan bahwa respon pemerintah diambil secara kolektif.
Baca Juga: Prancis menutup dua sekolah di dekat resor ski setelah kasus virus corona
Xi juga tidak muncul dalam siaran resmi selama seminggu, sampai pertemuan dengan pemimpin otoriter Kamboja, Hun Sen, pada hari Rabu.
Ada sedikit bukti bahwa Xi telah memberikan kekuatan di belakang layar. Li, perdana menteri yang bertanggung jawab secara formal untuk memerangi krisis ini, dan pejabat lainnya mengatakan bahwa mereka menerima perintah dari Xi. Kelompok ini dipenuhi dengan pejabat yang bekerja erat di bawah Xi, dan menekankan otoritasnya secara langsung.
"Cara China dalam menangani epidemi ini dari atas, tidak sesuai dengan argumen bahwa ada pergeseran yang jelas ke arah kepemimpinan yang lebih kolektif dan konsultatif," kata Holly Snape, Fellow Akademi Inggris di Universitas Glasgow yang mempelajari politik China.
Baca Juga: Ada 64 kasus virus corona di kapal pesiar Diamond Princess, 78 WNI dikarantina
"Pihak berwenang China menunjukkan kemampuan untuk mengatasinya, kesediaan untuk mengambil tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya - pencapaian logistik yang sebenarnya dapat meningkatkan legitimasi rezim," jelas Sergey Radchenko, seorang profesor hubungan internasional dari Cardiff University.
Radchenko membandingkan tindakan Xi dengan tindakan para pemimpin sebelumnya di saat-saat krisis: Mao Zedong dalam Revolusi Kebudayaan atau Deng Xiaoping setelah penumpasan Lapangan Tiananmen.
"Dia melakukan apa yang seharusnya dilakukan Mao dan Deng dalam situasi yang sama: melangkah kembali ke bayang-bayang namun tetap memegang kendali dengan kuat."