Sumber: money.cnn | Editor: Hendra Gunawan
DOLLAR Amerika Serikat (AS) menjadi mata uang paling perkasa di tahun 2014. Mata uang negeri Paman Sam ini mengalahkan 31 mata uang utama di dunia.
Walaupun ini pertanda baik bagi perekonomian, di sisi lain, perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di luar negeri harus menelan pil pahit karena penguatan dollar.
Penguatan dollar AS akan terus berlanjut di tahun ini. Dengan sentimen positif keputusan Bank Sentral AS yang menaikkan suku bunga, perlambatan ekonomi Eropa dan anjloknya harga minyak mampu mengerek kurs dollar.
Toh, begitu, beberapa perusahaan raksasa asal AS seperti Coca-Cola, Johnson and Johnson dan Mattel tergerus pendapatannya karena selisih nilai tukar antara mata uang negara tempat mereka beroperasi dengan nilai dollar AS.
"Kita akan melihat pendapatan mereka meleset sebagai dampak kekuatan dollar AS," ujar Kathy Lien, analis mata uang di BK Asset Management seperti dikutip dari CNNMoney.
Coca-Cola mengumumkan pendapatan kuartal keempat yang berakhir September 2014 turun 9% karena penurunan mata uang.
Begitupun juga dengan laba bersih tergelincir hingga 14% menjadi US$ 2,1 miliar. Bahkan, awal tahun ini, Coca-Cola memutuskan akan memangkas antara 1.600 hingga 1.800 karyawan secara global demi menghemat US$ 3 miliar.
Salah satu mata uang yang paling buruk kinerjanya terhadap dollar AS adalah rubel. Pada tahun lalu, nilai tukar rubel terjun hingga 80% karena sanksi barat atas konfl ik Ukraina dan harga minyak.
Alhasil, Apple Inc sempat menghentikan sementara penjualannya di Rusia selama sepekan. Pabrikan telepon pintar asal AS tersebut harus mengevaluasi harga karena fluktuasi nilai tukar yang ekstrem. Apple kembali menjual iPhone dan iPad setelah menaikkan harga jual 35%.
Apple harus mengambil keputusan sulit antara menaikkan harga atau tidak. Jika tidak menaikkan harga, ada kekhawatiran laba Apple akan jatuh ketika pendapatan rubel mereka dikonversi ke dollar AS. Namun, jika menaikkan harga, target volume penjualan sulit tercapai. Apalagi, sebelum krisis di Rusia, produk Apple dibanderol lebih murah ketimbang merek lain.
Perusahaan otomotif AS yakni General Motors juga menderita karena jatuhnya nilai tukar rubel. "Rubel memang memiliki dampak yang besar tetapi ada penyesuaian di volume penjualan," ujar Michael Lohscheller, Chief Financial Offi cer General Motors Opel Group dikutip dari Financial Times.
Demikian pula dengan nilai tukar mata uang Venezuela yang juga melemah terhadap dollar AS. Perusahaan-perusahaan maskapai penerbangan AS yang memiliki rute penerbangan ke Amerika Selatan seperti Delta dan United harus mengurangi jam terbang karena perbedaan nilai mata uang.
Namun, mengonversikan penjualan dari mata uang asing ke dollar bukan satu-satunya ancaman bagi perusahaan-perusahaan besar Amerika di luar negeri.
Penguatan dollar AS juga membuat produk ekspor mereka menjadi tidak berdaya saing karena harganya cukup mahal. Hal ini tentu saja akan merugikan perusahaan-perusahaan dalam negeri Amerika yang berkompetisi dengan merek luar negeri. Pabrikan manufaktur seperti Boeing dan Caterpillar telah terkena dampaknya.
Perusahaan manufaktur kecil juga ikut menderita karena fluktuasi mata uang. Quality Float Works, perusahaan pembuat sensor untuk tangki minyak dan air harus kehilangan ekspor hingga 3% di 2014. "Kami sulit bersaing dengan barang manufaktur Asia lainnya yang mirip," ujar Jason Speer, pemimpin perusahaan yang hanya memiliki 25 karyawan itu.