Reporter: Bidara Pink | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2022. Fitch meyakini, ekonomi dunia hanya tumbuh 2,4% secara tahunan atawa year on year (YoY) atau turun 0,5% poin dari perkiraan pada Juni 2022 lalu.
Kepala Ekonom Fitch Ratings Brian Coulton menyebut, penurunan perkiraan pertumbuhan ekonomi ini seiring dengan krisis yang terjadi di berbagai belhan dunia. "Kami melihat badai yang sangat dahsyat untuk prospek perekonomian dalam beberapa bulan, seperti krisis energi di Eropa, peningkatan suku bunga acuan negara-negara di dunia, dan krisis properti di China," tulis Coulton dalam Global Economic Outlook edisi September 2022.
Perkiraan ini menimbang adanya pelarangan masuknya gas Rusia ke Eropa. Di saat Eropa tengah berjuang menemukan alternatif, total pasokan gas Eropa akan turun secara signifikan dalam waktu dekat. Ini tentu saja akan memberikan dampak terhadap rantai pasokan industri.
Baca Juga: Jalur Pipa Rusia ke China Akan Menggantikan Jalur Gas Nord Stream 2 ke Eropa
Dampak ini akan memburuk apabila Eropa kemudian menerapkan pembatasan penggunaan gas (penjatahan) untuk menghindari risiko kekurangan gas. Nah, negara yang akan paling terdampak adalah negara Jerman.
Di sisi konsumen, harga gas dan listrik grosir di Eropa juga telah meningkat hampir sepuluh kali lipat akibat krisis. Dengan demikian, ini akan diteruskan kepada konsumen sehingga harga gas dan listrik di tingkat konsumen pun turut meningkat. Tentu ini akan mengerek inflasi indeks harga konsumen (IHK).
Coulton memberikan contoh perhitungan. Bila harga gas dan listrik di tingkat konsumen naik sekitar tiga hingga empat kali lipat, maka inflasi IHK akan meningkat lebih dari 15% poin.
Baca Juga: Menteri Keuangan Prancis Pastikan Negaranya Jauh dari Resesi
Coulton tetap mengapresiasi langkah yang diambil oleh pemerintah Eropa untuk melindungi rakyatnya dari peningkatan inflasi yang signifikan. Namun, dia mengingatkan, langkah yang dilakukan pemerintah Eropa ini akan menimbulkan biaya fiskal yang signifikan.
Nah, peningkatan inflasi yang signifikan ini kemudian mendorong peningkatan ekspektasi inflasi jangka pendek. Ini pun direspon dengan peningkatan suku bunga acuan yang cukup signifikan di bank sentral Eropa maupun bank sentral Inggris. Tingkat kebijakan meningkat jauh lebih cepat dari yang diharapkan.
Tingkat refinancing bank sentral Eropa, European Central Bank (ECB) diperkirakan naik menjadi 2% pada bulan Desember 2022. Suku bunga acuan bank sentral Inggris, Bank of England (BOE) diperkirakan mencapai 3,25% pada Februari 2023.
Pun menilik ke belahan bumi lain, bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) juga diperkirakan makin hawkish. Menurut perkiraan Coulton, The Fed bisa mengerek suku bunga acuan menjadi 4% pada akhir tahun 2022.
Baca Juga: Nilai Impor Energi Melonjak, Jepang Membukukan Defisit Bulanan Terbesar di Agustus
The Fed dan BOE juga tengah berada dalam mode pengetatan yang kuantitatif, yaitu dengan berencana menjual obligasi secara langsung.
Dengan kondisi ini, bank sentral pun tidak lagi mendukung pelonggaran fiskal untuk melindungi rumah tangga dan dunia usaha dari guncangan ekonomi. Pasalnya, dengan kondisi likuiditas yang makin ketat, pelonggaran fiskal skala besar akan mendorong kenaikan suku bunga riil jangka panjang.
Lebih lanjut, tak hanya memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini, Fitch Ratings juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2023 sebesar 1% poin menjadi 1,7%.
Baca Juga: Harga Minyak Menguat, Prospek Peralihan dari Gas ke Minyak Jadi Penopang