Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – AMSTERDAM. Krisis politik kembali mengguncang Belanda setelah Geert Wilders, pemimpin sayap kanan PVV, menarik dukungan dari koalisi pemerintahan yang baru berumur setahun.
Langkah tersebut memicu pengunduran diri Perdana Menteri Dick Schoof dan membuka jalan bagi pemilu baru yang kemungkinan digelar paling cepat pertengahan Oktober.
Baca Juga: Pemerintahan Belanda Runtuh dan PM Dick Schoof Mengundurkan Diri, Ada Apa?
Berikut rangkaian skenario yang diperkirakan akan terjadi selanjutnya:
1. Pemilu Parlemen Baru di Oktober–November
Setelah Perdana Menteri Dick Schoof secara resmi menyerahkan surat pengunduran dirinya kepada Raja Willem-Alexander, proses menuju pemilu baru akan dimulai. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, pemilu kemungkinan baru digelar pada Oktober atau November 2025.
Wilders, yang menang besar dalam pemilu November 2023 dengan 23% suara, kini menghadapi penurunan dukungan dalam survei, yang memperkirakan elektabilitas PVV turun ke sekitar 20%, setara dengan koalisi Partai Buruh dan Hijau (Labour/Green).
Namun, peta politik Belanda sangat dinamis dan terfragmentasi, membuat hasil pemilu mendatang sulit diprediksi. Konsolidasi suara kanan-tengah atau poros kiri hijau akan menjadi faktor penentu.
Baca Juga: LPEI dan KBRI Belanda Tawarkan Jalan Baru ke Eropa lewat Rotterdam
2. Pemerintahan Sementara Akan Bertahan Hingga Koalisi Baru Terbentuk
Schoof menyatakan dirinya dan para menteri dari tiga partai koalisi lainnya akan melanjutkan tugas dalam kapasitas sebagai caretaker government.
Mereka akan tetap menjalankan fungsi-fungsi esensial, meski dengan kewenangan terbatas, hingga terbentuknya koalisi baru pasca pemilu proses yang kerap memakan waktu berbulan-bulan.
Parlemen dalam waktu dekat akan menentukan batasan kewenangan pemerintahan sementara, termasuk isu mana saja yang dapat tetap diputuskan.
Baca Juga: 30 Calon Investor asal Belanda Siap Masuk Sektor Pertanian RI, Siapa Saja?
3. Dampak Langsung: Ketidakpastian Kebijakan dan Penundaan Reformasi
Runtuhnya pemerintahan diperkirakan akan menunda berbagai agenda penting, seperti peningkatan anggaran pertahanan, reformasi migrasi, serta keputusan fiskal yang menyangkut belanja publik.
Ini terjadi di tengah kebutuhan mendesak Eropa untuk memperkuat koordinasi menghadapi tantangan geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan potensi ketegangan transatlantik jika Donald Trump kembali memimpin AS.
Meski demikian, dukungan terhadap Ukraina diyakini akan tetap berlanjut, karena mendapatkan konsensus luas lintas partai.