kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.284.000   34.000   1,51%
  • USD/IDR 16.581   -44,00   -0,26%
  • IDX 8.193   52,91   0,65%
  • KOMPAS100 1.123   7,37   0,66%
  • LQ45 790   7,33   0,94%
  • ISSI 289   2,08   0,73%
  • IDX30 415   4,03   0,98%
  • IDXHIDIV20 466   2,88   0,62%
  • IDX80 124   1,01   0,82%
  • IDXV30 134   1,06   0,79%
  • IDXQ30 129   0,76   0,59%

Krisis Politik Membayangi Macron, Kesendirian di Tepi Sungai Seine Jadi Sorotan


Selasa, 07 Oktober 2025 / 05:37 WIB
Krisis Politik Membayangi Macron, Kesendirian di Tepi Sungai Seine Jadi Sorotan
Presiden Prancis Emmanuel Macron di Cesson-Sevigne, dekat Rennes, Prancis, 20 Januari 2025. REUTERS/Stephane Mahe/


Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - PARIS. Presiden Prancis Emmanuel Macron terekam berjalan seorang diri di tepi Sungai Seine pada pagi musim gugur yang dingin, hanya beberapa jam setelah Perdana Menteri terbarunya dipaksa mundur karena gagal membentuk kabinet yang bertahan lebih dari satu hari.

Dengan mengenakan mantel hitam, Macron berjalan melewati gerbang besi menuju tepian batu sungai. Para pengawalnya menjaga jarak di depan dan belakang. 

Adegan tersebut, yang terekam kamera dari kejauhan dan ditayangkan televisi Prancis, mengingatkan publik pada momen Charles de Gaulle yang mencari ketenangan di Irlandia setelah mengundurkan diri pada akhir 1960-an, simbol seorang pemimpin yang memasuki penghujung era politiknya.

Masa jabatan Macron sejatinya masih berlangsung hingga 2027. Namun, pengunduran diri Sebastien Lecornu, perdana menteri kelima dalam dua tahun terakhir, menimbulkan keraguan apakah Macron mampu menuntaskan periode terakhirnya. 

Baca Juga: Pemerintahan Prancis Kolaps dalam 14 Jam, Krisis Politik Kian Dalam

Meski demikian, Macron berusaha menghindari nasib itu dengan memberi Lecornu waktu dua hari untuk melakukan perundingan terakhir bersama oposisi guna mencari jalan keluar dari kebuntuan politik.

Langkah itu menegaskan ketidaksukaan Macron terhadap dua opsi lain yang tersedia: menggelar pemilu legislatif baru yang bisa membuka jalan bagi kemenangan sayap kanan, atau mengundurkan diri, opsi yang sejauh ini ia tolak.

Di dalam negeri, Macron semakin terisolasi. Popularitasnya merosot, sementara mantan sekutu politik memilih menjaga jarak demi memperbesar peluang mereka dalam pemilihan presiden 2027. 

Survei Elabe untuk BFMTV menunjukkan hampir setengah warga Prancis menyalahkan Macron atas krisis politik saat ini, dan 51% responden percaya pengunduran dirinya bisa memecah kebuntuan.

Baca Juga: Warga Akhirnya Bisa Berenang di Sungai Seine Paris Setelah 100 Tahun Ditutup

"Macron kini terisolasi, tanpa arah dan tanpa dukungan. Ia harus mengambil keputusan: mundur atau membubarkan parlemen," tulis anggota parlemen Partai Nasional Rally dari kubu sayap kanan, Philippe Ballard, di platform X.

Krisis politik ini berawal dari keputusan Macron pada 2024 yang gagal, yakni membubarkan parlemen dan menggelar pemilu kilat. Hasilnya, Prancis memiliki parlemen yang terpecah ke dalam tiga blok ideologi yang berlawanan. Sejak saat itu, Macron hanya bisa mengandalkan kabinet minoritas.

Dengan tekad mempertahankan warisan ekonominya berupa pemotongan pajak dan reformasi pensiun, Macron menunjuk perdana menteri dari aliansi konservatif dan sentris. 

Namun, selama lebih dari setahun, pemerintahannya kesulitan meloloskan kebijakan pengurangan defisit. Dua perdana menteri sebelumnya jatuh karena gagal memperbaiki kondisi fiskal, meski “socle commun” atau platform bersama masih bertahan.

Situasi berubah drastis ketika Bruno Retailleau, tokoh konservatif berpengaruh, secara terbuka mengkritik kabinet Lecornu hanya beberapa jam setelah diumumkan. 

Kini Macron berharap Lecornu bisa membujuk kembali kelompok konservatif ke meja perundingan. Jika gagal, pilihan lain adalah menunjuk perdana menteri dari kubu kiri. Namun, syarat Sosialis yang menuntut pajak kekayaan dan pembatalan reformasi pensiun membuatnya sulit diterima partai lain.

Baca Juga: Warga Akhirnya Bisa Berenang di Sungai Seine Paris Setelah 100 Tahun Ditutup

Meski Macron masih memberi Lecornu kesempatan, tekanan politik tidak menunjukkan tanda mereda. Pemimpin sayap kanan, Marine Le Pen, langsung menyerukan pembubaran parlemen dan pemilu baru. Survei terbaru bahkan menunjukkan partainya, National Rally, berada di posisi teratas dalam niat memilih publik.

“National Rally diuntungkan dari runtuhnya kubu tengah dan berhasil meraup suara protes. Mereka melihat pembubaran parlemen sebagai peluang emas untuk akhirnya berkuasa,” kata analis politik Stewart Chau.

Seruan agar Macron mengundurkan diri, yang sebelumnya hanya datang dari pinggiran politik, kini mulai masuk arus utama. 

Baca Juga: Kritik Trump, Obama Sebut AS Hadapi Krisis Politik Pasca-Pembunuhan Charlie Kirk

“Kepentingan nasional Prancis menuntut Emmanuel Macron menetapkan tanggal pengunduran diri, demi menjaga institusi dan mengakhiri kebuntuan akibat keputusan pembubaran absurd,” tulis David Lisnard, wali kota Cannes sekaligus tokoh konservatif yang tengah naik daun.

Meski berulang kali menegaskan akan menyelesaikan masa jabatannya, Macron kini dihadapkan pada semakin sedikit pilihan. Ia bisa saja mengakhiri kepresidenannya dengan sebuah langkah dramatis, persis seperti De Gaulle yang mengundurkan diri pada 1969.

Selanjutnya: Petrosea (PTRO) Bidik Pendapatan Naik Dua Digit Pada 2025 dan 2026

Menarik Dibaca: 5 Sosok Makhluk Mistis Legendaris Korea yang Sering Jadi Hantu di Drakor


Video Terkait



TERBARU

[X]
×