Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - PARIS. Michel Barnier, Perdana Menteri Prancis, akan mengundurkan diri pada hari Kamis waktu setempat setelah pemerintahannya digulingkan oleh mosi tidak percaya yang diajukan oleh anggota parlemen sayap kiri dan sayap kanan ekstrem.
Ini menandai berakhirnya salah satu periode kepemimpinan terpendek dalam sejarah Prancis modern. Ketegangan politik ini semakin memperburuk krisis yang melanda ekonomi zona euro, yang merupakan ekonomi terbesar kedua di kawasan tersebut.
Krisis Pemerintahan: Barnier Mengundurkan Diri Setelah Pemungutan Mosi Tidak Percaya
Michel Barnier, yang sebelumnya menjabat sebagai negosiator Brexit Uni Eropa, akan menjadi perdana menteri dengan masa jabatan terpendek dalam sejarah modern Prancis, setelah menyerahkan pengunduran dirinya pada sekitar pukul 10 pagi waktu setempat (09:00 GMT).
Baca Juga: Jumlah Miliarder dan Kekayaannya Meningkat Disumbang dari Amerika Serikat
Pemerintah Prancis tidak pernah kalah dalam pemungutan suara tidak percaya sejak pemerintahan Georges Pompidou pada tahun 1962. Langkah ini menambah kedalaman krisis politik yang semakin memperburuk ketidakstabilan politik di Prancis.
Penyebab utama dari kejatuhan Barnier adalah usahanya untuk mendorong rancangan anggaran yang kontroversial, yang tidak disetujui oleh parlemen yang terpecah.
Anggaran tersebut bertujuan untuk mengurangi defisit besar negara dengan menghemat 60 miliar euro (sekitar 63 miliar dolar AS), yang dianggap terlalu keras oleh banyak kelompok, terutama kelompok sayap kiri dan kanan ekstrem.
Partai sayap kanan ekstrem, National Rally yang dipimpin oleh Marine Le Pen, mengkritik anggaran tersebut sebagai langkah yang merugikan masyarakat pekerja.
Pengaruh Terhadap Presiden Emmanuel Macron dan Ketidakstabilan Politik
Pengunduran diri Barnier semakin melemahkan posisi Presiden Emmanuel Macron, yang menjadi pemicu krisis politik ini setelah mengambil keputusan untuk mengadakan pemilu mendadak pada bulan Juni.
Langkah tersebut kini dipandang sebagai keputusan yang salah, karena memperburuk polarisasi politik dan meningkatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahannya.
Baca Juga: Elon Musk Mengalami Kerugian Sebesar US$32.000.000.000 Sejak Mengambil Alih Twitter
Sebuah jajak pendapat online setelah pemungutan suara tidak percaya menunjukkan bahwa 64% pemilih menginginkan Macron untuk mengundurkan diri, meskipun ia memiliki mandat kepresidenan hingga 2027 dan tidak dapat dipaksa keluar secara langsung.
Marine Le Pen menganggap bahwa "Macron adalah penyebab utama dari situasi ini." Ia menambahkan bahwa kebijakan Macron, termasuk pembubaran parlemen dan ketidakmampuan dalam menangani krisis ini, telah memperburuk kesenjangan yang ada antara pemerintah dan rakyat Prancis.
Dampak Ekonomi dari Ketidakstabilan Politik
Krisis politik ini telah memberi dampak besar pada stabilitas ekonomi Prancis. Negara ini kini berisiko menyelesaikan tahun tanpa pemerintah yang stabil maupun anggaran untuk tahun 2025, meskipun konstitusi Prancis memungkinkan penerapan langkah-langkah khusus untuk mencegah terjadinya kegagalan pemerintahan ala Amerika Serikat.
Meskipun demikian, ketidakpastian politik yang berkelanjutan kemungkinan besar akan terus memengaruhi pasar keuangan dan ekonomi negara.
Dalam sebuah laporan, analis dari Societe Generale (SocGen) menyatakan bahwa ketidakpastian politik yang sedang berlangsung kemungkinan akan meningkatkan premi risiko terhadap aset-aset Prancis, yang memengaruhi investor.
Baca Juga: Fans Home Alone Merapat! Mengapa Adegan Lucu Ini Dihapus dari Film?
Utang negara Prancis dan saham sudah mengalami penurunan selama beberapa minggu terakhir, dengan premi risiko untuk memegang utang Prancis hampir mencapai level tertinggi dalam lebih dari 12 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa investor semakin khawatir dengan masa depan politik dan ekonomi negara tersebut.
Tantangan untuk Perdana Menteri Baru
Setelah pengunduran diri Barnier, Presiden Macron berencana untuk menunjuk perdana menteri baru dalam waktu cepat, dengan harapan pengangkatan ini bisa dilakukan sebelum upacara pembukaan kembali Katedral Notre-Dame pada hari Sabtu, yang juga akan dihadiri oleh Presiden AS terpilih Donald Trump.
Namun, siapapun yang akan menjadi perdana menteri baru, mereka akan menghadapi tantangan yang sama seperti yang dihadapi Barnier: yakni, memperoleh dukungan parlemen yang terpecah untuk mengesahkan undang-undang penting, termasuk anggaran 2025.
Sampai adanya pemilu baru yang dijadwalkan setelah Juli 2025, ketidakpastian politik yang berlanjut diperkirakan akan menekan investasi dan pengeluaran konsumen di Prancis, yang memperburuk proyeksi pertumbuhan ekonomi negara.
Baca Juga: Jeff Bezos Yakin Blue Origin Akan Lebih Besar dari Amazon
Reaksi Masyarakat dan Polarisasi Politik yang Semakin Dalam
Banyak pemilih yang mendukung keputusan parlemen untuk menggulingkan Barnier, tetapi banyak pula yang khawatir tentang dampak ekonomi dan politik yang mungkin ditimbulkan dari ketidakstabilan ini.
Xavier Bertrand, seorang politisi konservatif, mengungkapkan campuran perasaan marah dan malu terkait dengan pemungutan suara tidak percaya ini, mengatakan bahwa seolah-olah kedua ekstrem politik, baik dari sayap kiri maupun sayap kanan, telah menjadi pusat kehidupan politik Prancis.