kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Laut China Selatan memanas: ASEAN memilih diplomasi, Vietnam paling vokal


Senin, 18 Mei 2020 / 09:49 WIB
Laut China Selatan memanas: ASEAN memilih diplomasi, Vietnam paling vokal
ILUSTRASI. Kapal induk AS dan Australia di Laut China Selatan. Australia Department Of Defence/Handout via REUTERS


Sumber: South China Morning Post | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

Trung Nguyen, kepala departemen politik internasional di Vietnam National University, mengatakan Vietnam telah menentang larangan penangkapan ikan sejak diperkenalkan pada tahun 1999. Meski menyadari risiko tindakan hukuman dalam bentuk gangguan perdagangan atau pembatasan perjalanan, Hanoi tidak "terlalu khawatir".

"Hanoi lebih suka melindungi kedaulatannya daripada khawatir tentang memicu permusuhan," katanya. "Vietnam tidak mentolerir fakta bahwa negara raksasa tetangga dapat memberlakukan larangan penangkapan ikan di perairan kami, sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut."

Baca Juga: Ratusan kapal Tiongkok diduga terlibat dalam pengerukan ilegal di Laut China Selatan

Filipina

Di Filipina, pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte mendukung Vietnam setelah kapal penangkap ikannya tenggelam. Manila juga mengajukan protes diplomatik terhadap China setelah kapal Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) menunjuk senjata radar ke kapal Angkatan Laut Filipina dan Beijing mendirikan distrik administratif baru untuk memerintah Paracels, Spratlys, dan Macclesfield Bank.

Baca Juga: Penampakan satelit: Terjadi pengerukan ilegal skala besar di Laut China Selatan!

Jay Batongbacal, seorang pakar hukum kelautan dan profesor di Universitas Filipina, mengakui Manila menyatakan posisi yang lebih kuat "yang belum dilakukan baru-baru ini", tetapi tidak mengantisipasi hal-hal yang semakin memanas.

"Di bawah pemerintahan Duterte, Filipina lebih memilih untuk melakukan diplomasi dengan mengajukan protes tanpa pengumuman kepada publik untuk mengakomodasi keinginan China agar urusan ditangani dengan diam-diam," Batongbacal menjelaskan.

Hal ini berbeda dengan pemerintahan Benigno Aquino sebelumnya, yang membawa Beijing ke pengadilan pada 2013 atas klaim teritorialnya. Setelah Den Haag memutuskan mendukung Filipina pada 2016, Duterte dikritik karena gagal menegakkan keputusan saat ia mengejar bantuan Tiongkok dan kesepakatan investasi.



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×