kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Laut China Selatan memanas: ASEAN memilih diplomasi, Vietnam paling vokal


Senin, 18 Mei 2020 / 09:49 WIB
Laut China Selatan memanas: ASEAN memilih diplomasi, Vietnam paling vokal
ILUSTRASI. Kapal induk AS dan Australia di Laut China Selatan. Australia Department Of Defence/Handout via REUTERS


Sumber: South China Morning Post | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - BEIJING. Ketika West Capella, sebuah kapal bor yang disewa oleh perusahaan minyak nasional Malaysia, Petronas, untuk mensurvei minyak di Laut China Selatan menyelesaikan aktivitasnya pekan lalu, kapal Angkatan Laut AS Gabrielle Giffords juga turut meninggalkan pangkalannya di Singapura.

Melansir South China Morning Post, ini adalah kali ketiga dalam beberapa pekan terakhir bahwa Amerika Serikat telah melakukan "operasi kehadiran" di perairan yang kaya sumber daya, dan telah menjadi lokasi ketegangan baru antara China dan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara terkait eksplorasi minyak dan kegiatan penangkapan ikan.

Beijing mengklaim sebagian besar Laut China Selatan yang membentang kira-kira 1.000 mil dari pantai selatannya. Mereka telah mengerahkan kapal survei pemerintah Tiongkok, kapal penjaga pantai dan kapal nelayan milisi untuk mempertahankan kehadiran di sana.

 Baca Juga: Sebulan buntuti kapal Petronas, kapal survei China tinggalkan perairan Malaysia

Sementara Beijing mengatakan kapal-kapal itu melakukan kegiatan normal, Washington menuduh Tiongkok melakukan "taktik intimidasi". Pada tahun 2018, Vietnam - yang memiliki klaim teritorial dalam jalur air yang disengketakan bersama dengan Malaysia, Brunei dan Filipina, memilih menunda proyek pengeboran minyak oleh perusahaan Spanyol Repsol, karena tekanan China.

Di antara negara-negara Asean, Hanoi paling vokal dalam penentangannya terhadap klaim dan kegiatan Beijing, diikuti oleh Manila.

Delapan anggota Asean yang tersisa sebagian besar tetap melakukan aksi diam. Ketika mereka mengeluarkan pernyataan, komentar lebih difokuskan pada pentingnya menghindari konflik dan menjaga stabilitas regional.

Baca Juga: Militer China gelar latihan militer selama 2,5 bulan, menargetkan Taiwan?

Analis meyakini bahwa masing-masing negara tidak akan secara terbuka bertengkar dengan China karena khawatir akan mempengaruhi hubungan perdagangan dan investasi, terutama di tengah penurunan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi virus corona.

Joseph Liow Chin Yong, yang merupakan pakar geopolitik Asia-Pasifik di Nanyang Technological University, Singapura, mengatakan bahwa preferensi negara-negara Asean adalah untuk terlibat dalam diplomasi di belakang layar, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan integritas mereka tanpa membakar hubungan dengan Beijing .

Baca Juga: Kapal perang AS kembali berlayar di Selat Taiwan sepekan jelang pelantikan presiden

Berikut hubungan China dengan negara-negara ASEAN di tengah memanasnya kondisi di Laut China Selatan seperti yang dilansir dari South China Morning Post:

Vietnam

Keputusan Hanoi untuk berbenturan dengan Beijing mencerminkan hubungan kompleks tetangga, di mana upaya bersama untuk meningkatkan perdagangan bilateral tidak mengurangi pernyataan kepentingan nasionalnya.

Pekan lalu, Vietnam secara terbuka menentang larangan memancing musim panas tahunan Tiongkok dan mendesak nelayannya untuk tetap melakukan kegiatan mereka di sekitar Kepulauan Paracel.

Baca Juga: China tembakkan rudal nuklir bawah laut terbarunya yang bisa sampai ke Amerika

Bulan lalu, Vietnam juga memprotes keputusan China untuk mendirikan distrik administratif di Paracels, dan satu lagi di Kepulauan Spratly, yang diperebutkan oleh Hanoi, Manila dan Beijing. Itu terjadi setelah Vietnam menyalahkan China dan mengajukan protes resmi karena menenggelamkan kapal penangkap ikannya meskipun China menuduh kapal itu menabrak kapal penjaga pantai.

Trung Nguyen, kepala departemen politik internasional di Vietnam National University, mengatakan Vietnam telah menentang larangan penangkapan ikan sejak diperkenalkan pada tahun 1999. Meski menyadari risiko tindakan hukuman dalam bentuk gangguan perdagangan atau pembatasan perjalanan, Hanoi tidak "terlalu khawatir".

"Hanoi lebih suka melindungi kedaulatannya daripada khawatir tentang memicu permusuhan," katanya. "Vietnam tidak mentolerir fakta bahwa negara raksasa tetangga dapat memberlakukan larangan penangkapan ikan di perairan kami, sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut."

Baca Juga: Ratusan kapal Tiongkok diduga terlibat dalam pengerukan ilegal di Laut China Selatan

Filipina

Di Filipina, pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte mendukung Vietnam setelah kapal penangkap ikannya tenggelam. Manila juga mengajukan protes diplomatik terhadap China setelah kapal Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) menunjuk senjata radar ke kapal Angkatan Laut Filipina dan Beijing mendirikan distrik administratif baru untuk memerintah Paracels, Spratlys, dan Macclesfield Bank.

Baca Juga: Penampakan satelit: Terjadi pengerukan ilegal skala besar di Laut China Selatan!

Jay Batongbacal, seorang pakar hukum kelautan dan profesor di Universitas Filipina, mengakui Manila menyatakan posisi yang lebih kuat "yang belum dilakukan baru-baru ini", tetapi tidak mengantisipasi hal-hal yang semakin memanas.

"Di bawah pemerintahan Duterte, Filipina lebih memilih untuk melakukan diplomasi dengan mengajukan protes tanpa pengumuman kepada publik untuk mengakomodasi keinginan China agar urusan ditangani dengan diam-diam," Batongbacal menjelaskan.

Hal ini berbeda dengan pemerintahan Benigno Aquino sebelumnya, yang membawa Beijing ke pengadilan pada 2013 atas klaim teritorialnya. Setelah Den Haag memutuskan mendukung Filipina pada 2016, Duterte dikritik karena gagal menegakkan keputusan saat ia mengejar bantuan Tiongkok dan kesepakatan investasi.

"Saya tidak berharap Manila akan mengambil tindakan drastis terhadap Beijing kecuali jika PLA secara fisik mengambil alih pulau-pulau yang diduduki Filipina," kata Anna Patricia Saberon, anggota fakultas di Universitas Ateneo de Naga. 

Dia juga bilang, "Kepemimpinan Filipina tampak pro-China dan itu akan berlanjut sampai masa jabatan Dutere berakhir."

Baca Juga: Laut China Selatan: RI kutuk kekejaman perusahaan China, operasi militer AS meningkat

Malaysia

Malaysia telah mendapatkan ancaman terselubung China bahwa eksplorasi energi tidak boleh terjadi tanpa partisipasi Beijing dengan respons yang terukur.

Ketika perselisihan selama berbulan-bulan antara kapal Tiongkok dan Malaysia atas kegiatan Capella Barat memuncak pada bulan April dengan kapal perang AS dan Australia memasuki daerah tersebut, Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein memperingatkan "kesalahan perhitungan" yang dapat mempengaruhi stabilitas dan perdamaian di wilayah tersebut.

Baca Juga: Beijing perkuat klaim di Laut China Selatan, negara tetangga mulai resah dan gelisah

Dalam sambutan resmi pertamanya tentang pertikaian itu, dia mengatakan Malaysia berkomitmen untuk melindungi kepentingannya dan mempertahankan "komunikasi yang terbuka dan berkelanjutan" dengan semua pihak terkait, termasuk China dan AS.

Malaysia telah bergerak untuk menunjukkan kepentingan teritorialnya tahun lalu dengan mengklaim landas kontinen diperpanjang di bagian utara Laut China Selatan yang ditentang Beijing.

Indonesia

Sementara, Indonesia tetap mempertahankan zona ekonomi eksklusif di kepulauan Natuna di tepi Laut China Selatan. Indonesia telah menantang upaya China untuk menangkap ikan di wilayah tersebut. 

Baca Juga: China bikin marah Vietnam & Filipina, risiko konfrontasi di Laut China Selatan tinggi

Awal tahun ini, pemerintah Indonesia telah mengajukan aksi protes kapal penjaga pantai Tiongkok yang mengawal kapal nelayan China di daerah itu dan mengerahkan jet tempur dan kapal perang untuk patroli.




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×