kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Makin mesra, Rusia ingin kurangi pemakaian dolar AS dalam perdagangan dengan China


Minggu, 21 April 2019 / 14:20 WIB
Makin mesra, Rusia ingin kurangi pemakaian dolar AS dalam perdagangan dengan China


Sumber: South China Morning Post | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - MOSKOW. Rusia dan China ingin meningkatkan penggunaan rubel dan yuan dalam hubungan perdagangan bilateral untuk mengurangi ketergantungan mereka pada dolar AS.

Dilansir dari South China Morning Post, nilai perdagangan antara kedua negara pada 2018 naik 25% menjadi US $ 108 miliar, tetapi hanya sekitar 10% hingga 12% saja yang dilakukan dalam mata uang mereka sendiri. Di mana penggunaan yuan lebih tinggi ketimbang rubel.

Duta besar Rusia untuk China Andrey Denisov menyebut baik Moskow dan Beijing ingin meningkatkan persentase tersebut secara signifikan.

“Baik China dan Rusia tidak puas dengan kenyataan bahwa hampir semua pembayaran internasional didasarkan pada dolar Amerika. Kami membutuhkan lebih banyak swasembada. Kami membutuhkan lebih banyak otonomi, ”katanya.

“Ketika saya mengatakan 'kami', maksud saya bukan hanya Rusia dan China, tetapi berbagai negara. Kami tidak ingin menderita karena penggunaan hanya satu mata uang. "

China adalah mitra dagang terbesar Rusia, sementara Rusia adalah mitra terbesar ke-10 bagi Tiongkok. Ia pun menyebut realisasi perdagangan antara kedua negara di tahun lalu merupakan hasil yang memuaskan.

“Dan tahun ini kami akan terus tumbuh. Mungkin tidak setinggi sebelumnya, tetapi pada kuartal pertama tahun ini masih tumbuh," ungkap dia.

Moskow juga berharap bahwa dengan menggunakan mata uang lain, negara tersebut dapat melewati sanksi yang dijatuhkan oleh AS dan negara-negara Barat lainnya sebagai hukuman atas pencaplokan atas Krimea pada tahun 2014.

Denosov menambahkan, baik China dan Rusia sama-sama menjadi korban sanksi AS. Hanya saja, Rusia menghadapi sanksi secara langsung, sementara China secara tidak langsung. "Saya yakin sanksi tersebut bukan instrumen yang adil," katanya. 

"Dalam kasus China dan AS, presiden AS mengatakan dia benar-benar ingin mengejar kemajuan teknologi melalui kompetisi dan tidak dengan menghalangi teknologi bangsa lain. Tapi bukan itu yang kita lihat dalam kenyataan, misalnya dengan teknologi 5G," jelas dia.



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×