kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menelisik seluk beluk tinggal di Korea Utara bagi para pendatang


Jumat, 05 Juli 2019 / 19:13 WIB
Menelisik seluk beluk tinggal di Korea Utara bagi para pendatang


Sumber: BBC | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Seorang siswa asal Australia Alek Sigley, yang tinggal dan bekerja di Korea Utara (Korut) selama lebih dari satu tahun telah dibebaskan dari tahanan. Hingga kini, tidak diketahui kenapa Alek bisa ditahan.

Namun, dalam banyak tulisan publiknya, Pria berusia 29 tahun ini sudah menghindari tulisan yang berbau kritik politik terhadap Pemerintah Korea Utara. Namun sebaliknya, Ia menggambarkan keanehan hal-hal kecil yang terjadi dalam masyarakat Korut.

Tapi, bagaimana Ia bisa sampai di sana? Dan ada berapa banyak ekspatriat yang tinggal di negara yang tersegel dari dunia luar tersebut?

Secara umum, orang asing yang tinggal di Korut dibagi menjadi dua kelompok, barat dan China. China memang merupakan sekutu terkuat dan terdekat Korut. Hubungan antara kedua negara ini juga meningkat dari tahun lalu. Jumlah kunjungan wisata warga Tiongkok ke Korut pun meningkat, menurut Prof Dean Oullette dari Universitas Kyungnam di Korea Selatan (Korsel) dalam artikel di BBC, Jumat (5/7).

Ia memperkirakan setidaknya ada 120.000 turis China yang mengunjungi Korut dalam satu tahun terakhir. Sebaliknya, kurang dari 5.000 turis Barat mengunjungi negara itu setiap tahun, dan jumlah penduduk Barat pun lebih rendah.

Peneliti Korut Andray Abrahamian yang sering ke negara itu, memperkirakan hanya ada sekitar 200 orang barat di Korut. Seluruhnya hampir bermarkas di ibukota, Pyongyang, dan terkait pada misi diplomatik, misi kemanusiaan atau terkait Universitas. Termasuk Universitas Sains dan Teknologi Pyongyang, yang memiliki program pertukaran guru.

Apakah sulit untuk masuk ke Korea Utara?

Kebanyakan orang Barat yang tinggal di Kout ada di dalam kondisi yang cukup khusus menurut Dr John Nilsson-Wright, seorang ahli hubungan internasional dari Universitas Cambridge dan Chatham House.

"Ini relatif tidak biasa bagi orang untuk menghabiskan waktu yang sangat lama di Korut, semacam program Pemerintah untuk waktu yang ditentukan dan jumlahnya cukup kecil," katanya.

Di luar area itu, orang asing bahkan sangat sulit untuk mengakses visa pekerja LSM. Organisasi memerlukan kepastian keamanan dari mitra atau sponsor Korea Utara. "Proses pengawasan akan lebih menyeluruh dan mungkin melibatkan Kementerian Pertahanan Negara untuk siapapun yang mencoba tinggal jangka panjang," terangnya.

Kembali ke kasus Alek, Ia pertama kali mengunjungi Korut dengan visa turis pada tahun 2012, sebelum mendirikan perusahaan wisata sendiri. Ia pun memimpin lusinan perjalanan ke negara bagian, membangun jaringan bagi orang luar yang ingin belajar di Universitas Kim Il-Sung, Universitas top di negara itu dan tempat Ia menempuh pendidikan.

"Tidak ada proses aplikasi terbuka, dan yang diterima merupakan orang beruntung yang punya koneksi dengan orang di dalam negeri," tulisnya dalam sebuah blog. Ia mengaku sudah memiliki beberapa teman yang bersedia dan menjaminnya untuk keperluan perizinan.

Meski sudah memenuhi semua syarat, Alek pun tetap membutuhkan waktu dua tahun untuk pemenuhan dokumen seperti pernyataan pribadi, pemeriksaan medis dan sertifikat kepolisian yang menegaskan bahwa Ia tidak memiliki catatan kriminal.

April lalu, Alek memulai gelar master selama dua tahun di bidang sastra Kora. Ia mencatat, bahwa dirinya menjadi salah satu dari tiga mahasiswa barat di universitasnya, dua pria lainnya berasal dari Kanada dan Swedia.

Dalam laman resmi Pemerintah China, negeri tirai bambu ini menawarkan beasiswa penuh untuk 60 orang belajar di Universitas-Universitas Korea Utara setiap tahun. Sementara itu, sekitar 70 warga China lainnya membayar sendiri untuk kuliah di Korut.

Dalam blognya, Alek Sigley menulis tentang kebebasan yang dimilikinya. Dibandingkan dengan turis lain yang harus memiliki pemandu, Ia cenderung lebih bebas. "Sebagai warga asing jangka panjang dengan visa pelajar, saya hampir tidak pernah sulit mengakses ke Pyongyang. Saya bebas berkeliaran di sekitar kota, tanpa harus ada pemandu," katanya.

Namun, Abrahamian mengatakan walau menjadi penghuni, orang barat sering tidak memperoleh akses ke banyak tempat seperti restoran dan beberapa bangunan. Sebab, untuk mengakses tempat seperti ini, setiap turis harus memiliki akses khusus yang dikeluarkan oleh Korut untuk membayar.

Mereka (turis) pun harus menjalani kehidupan dalam serangkaian peraturan sensitif. Bercampur dengan penduduk setempat yang kurang ramah. Warga asing pun dilarang untuk berfoto di ruang publik. "Anda tidak pernah bisa menerima apa pun begitu saja, ketika Anda di sana (Korut)," kata Prof Nilsson-Wright.

Ia mencontohkan kasus Otto Warmbier, seorang turis yang dipenjara selama 17 bulan di Korea Utara setelah diduga mencuri poster propaganda saat perjalanan turnya selama lima hari.

Tak lama setelah kembali ke negara asalnya, Amerika Serikat (AS), Otto Warmbier ditemukan meninggal dalam keadaan koma. Setelah kejadian itu, AS melarang warganya untuk mengunjungi negara tersebut. "Seperti yang Anda lihat dengan kasus Warmbier, orang Barat yang bermaksud baik saja bisa melanggar peraturan lokal atau masuk dalam tindakan yang fatal," kata Nilsson.




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×