Sumber: Yahoo Finance | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri otomotif global dikejutkan dengan keputusan Nissan dan Honda untuk membatalkan rencana merger besar mereka. Keputusan ini diumumkan setelah kedua perusahaan sepakat untuk mengakhiri memorandum of understanding (MoU) yang telah mereka tanda tangani pada Agustus lalu.
Merger ini awalnya direncanakan sebagai langkah strategis untuk memperkuat daya saing kedua perusahaan dalam pengembangan kendaraan listrik (EV) dan teknologi otomotif lainnya, serta melibatkan Mitsubishi sebagai mitra tambahan.
Namun, dengan kegagalan kesepakatan ini, masa depan Nissan kini dipertanyakan.
Alasan Pembatalan Merger Nissan-Honda
Pembatalan merger ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari perbedaan budaya perusahaan hingga ketidaksepakatan dalam struktur kepemilikan.
Baca Juga: Move on dari Honda, Nissan Buka Pintu untuk Mitra Baru. Foxconn Masuk Radar!
Meskipun Honda dan Nissan masih akan menjalin kemitraan strategis di bidang pengembangan teknologi, absennya kesepakatan merger menimbulkan tantangan besar bagi Nissan, yang saat ini menghadapi tekanan finansial dan persaingan ketat di industri otomotif.
Honda, yang berada dalam posisi lebih kuat secara finansial dan operasional, menilai Nissan sebagai mitra yang membutuhkan lebih banyak pemangkasan biaya.
Namun, upaya ini dinilai berjalan terlalu lambat, sehingga Honda mempertimbangkan untuk menjadikan Nissan sebagai anak perusahaan. Di sisi lain, Nissan menolak gagasan ini karena menganggapnya sebagai ancaman terhadap otonomi dan potensi perusahaan.
Dampak bagi Nissan: Tantangan Bertahan Tanpa Mitra Besar
CEO Nissan, Makoto Uchida, secara terbuka mengakui bahwa tanpa kemitraan yang kuat, Nissan akan menghadapi kesulitan untuk bertahan di tengah persaingan global.
Baca Juga: Penjualan Mobil Tesla Babak Belur! Manuver Politik Elon Musk Bikin Konsumen Kabur
"Akan sulit untuk bertahan tanpa menjalin kemitraan di masa depan," ujar Uchida dalam konferensi pers di Yokohama, Jepang.
Perusahaan yang telah lama bermitra dengan Renault ini tampaknya masih merasakan dampak dari ketegangan hubungan mereka di masa lalu. Renault sendiri enggan menyetujui kesepakatan merger dengan Honda, karena menilai bahwa tidak ada penawaran premium yang cukup untuk sahamnya di Nissan.
Honda dan Keputusan Strategisnya
Di sisi lain, Honda tetap berusaha menjaga fleksibilitas dan kecepatan dalam beradaptasi dengan perkembangan pasar otomotif, terutama dalam transisi ke kendaraan listrik. CEO Honda, Toshihiro Mibe, menegaskan bahwa merger dengan Nissan akan menghambat fleksibilitas ini, terutama dengan rencana pembentukan perusahaan induk baru yang dianggap kurang efektif.
"Kami perlu bergerak cepat, dan kami merasa struktur ini tidak akan berfungsi dengan baik untuk mencapai tujuan tersebut," ujar Mibe.
Honda juga memastikan bahwa opsi pengambilalihan paksa (hostile takeover) terhadap Nissan tidak akan dilakukan. Hal ini menandakan bahwa kedua perusahaan tetap berkomitmen untuk bekerja sama dalam bentuk kemitraan strategis, meskipun tanpa merger penuh.
Baca Juga: Rencana Merger Nissan-Honda Senilai US$60 Miliar Buyar! Ini Sebabnya
Masa Depan Nissan: Alternatif dan Opsi Baru
Dengan gagalnya merger, Nissan kini dihadapkan pada berbagai opsi untuk tetap bertahan di industri yang semakin kompetitif. Salah satu opsi yang muncul adalah kemungkinan kerja sama dengan perusahaan teknologi seperti Foxconn.
Perusahaan asal Taiwan ini tertarik untuk berinvestasi dalam pengembangan kendaraan listrik Nissan dan telah menyatakan kesediaannya untuk mempertimbangkan pembelian saham Nissan jika diperlukan.
Chairman Foxconn, Young Liu, menyatakan bahwa kerja sama dengan Nissan lebih diutamakan daripada kepemilikan saham secara langsung:
"Jika kerja sama membutuhkan pembelian saham Nissan, kami akan mempertimbangkannya," ujar Liu.
Selain Foxconn, Nissan juga berpotensi mencari kemitraan dengan perusahaan otomotif atau teknologi lainnya guna mempercepat inovasi dalam sektor kendaraan listrik dan mobilitas masa depan.