Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tambang rare earth baru di wilayah timur Myanmar kini berada di bawah perlindungan milisi bersenjata yang didukung China, menurut empat sumber terpercaya.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya strategis Beijing untuk mengamankan kendali atas mineral langka yang memainkan peran penting dalam konflik dagang dengan Amerika Serikat.
Ketergantungan Beijing terhadap Myanmar
Meskipun China mendominasi hampir seluruh proses pengolahan rare earth berat seperti dysprosium dan terbium—unsur krusial dalam pembuatan turbin angin, kendaraan listrik, hingga perangkat medis—negeri Tirai Bambu ini sangat bergantung pada Myanmar sebagai sumber bahan mentahnya.
Data bea cukai China menunjukkan bahwa hampir separuh impor logam rare earth pada empat bulan pertama 2025 berasal dari Myanmar. Namun, pasokan tersebut terganggu sejak wilayah tambang utama di Kachin, Myanmar utara, jatuh ke tangan kelompok bersenjata yang memerangi junta militer Myanmar—pemerintahan yang justru didukung oleh China.
Baca Juga: Trump Umumkan Kesepakatan Penting dengan Tiongkok, Apa Saja?
Ekspansi Tambang Baru di Negara Bagian Shan
Dalam menanggapi gangguan pasokan tersebut, perusahaan-perusahaan China dilaporkan mulai mengeksplorasi dan mengeksploitasi tambang baru di perbukitan Negara Bagian Shan, Myanmar timur.
Dua sumber yang bekerja di lokasi tambang menyebutkan bahwa lebih dari 100 pekerja bekerja siang dan malam, menggunakan bahan kimia untuk mengekstraksi logam dari lereng bukit.
Sumber lokal lainnya melaporkan keberadaan truk pengangkut material tambang dari wilayah Mong Hsat dan Mong Yun menuju perbatasan China, sekitar 200 km jauhnya. Citra satelit dari Planet Labs dan Maxar Technologies mengonfirmasi aktivitas pertambangan aktif di wilayah tersebut.
Milisi UWSA: Penguasa Senyap Wilayah Tambang
Operasi tambang ini dilindungi oleh United Wa State Army (UWSA), salah satu kelompok bersenjata terbesar di Shan. Menurut empat sumber, milisi ini terlihat mengenakan seragam khas UWSA. Kelompok ini diketahui memiliki hubungan ekonomi dan militer erat dengan China, termasuk dalam pengoperasian salah satu tambang timah terbesar di dunia.
UWSA diketahui mengelola wilayah semi-otonom seluas Belgia dan memiliki pasukan bersenjata sekitar 30.000–35.000 personel dengan senjata modern buatan China. Menurut pakar konflik Myanmar, hal ini menjadikan UWSA sebagai alat strategis Beijing untuk menjaga pengaruhnya di sepanjang perbatasan Myanmar–China.
Baca Juga: China Tambahkan Indonesia Dalam Program Transit Bebas Visa 240 Jam
Infrastruktur Tambang: Bukti Aktivitas dan Eksploitasi
Citra satelit menunjukkan bahwa lokasi pertambangan mulai dibuka pada April 2023 dan berkembang pesat menjadi kompleks industri dengan puluhan leaching pools—kolam pemrosesan bahan tambang—pada Februari 2025. Analisis citra dari Maxar mengungkapkan erosi tanah yang signifikan, mengindikasikan operasi tambang sudah berlangsung cukup lama.
Tambang-tambang ini dikelola oleh perusahaan China dengan pengawas berbahasa Mandarin, menurut dua pekerja tambang dan anggota Shan Human Rights Foundation (SHRF). Salah satu kantor di lokasi bahkan memiliki logo perusahaan dalam karakter Tionghoa.
Keuntungan Ekonomi dan Pengaruh Geopolitik
Menurut Benchmark Mineral Intelligence, perusahaan China dapat mengekstraksi rare earth berat di Myanmar dengan biaya tujuh kali lebih murah dibandingkan negara lain. Teknologi ekstraksi efisien tetap dikuasai China, sehingga kehadiran teknisi dan operator dari Tiongkok dianggap krusial dalam operasi ini.
Meskipun skala tambang Shan lebih kecil dibandingkan tambang di Kachin, para analis percaya mereka tetap menghasilkan elemen penting seperti terbium dan dysprosium. Permintaan global yang tinggi terhadap logam-logam ini mendorong lonjakan harga, di mana terbium oxide naik lebih dari 27% dalam enam bulan terakhir.
Baca Juga: China akan Memangkas Impor Batubara dari Indonesia, Pengusaha Ungkap Penyebabnya
Strategi China dalam Perang Dagang Global
China memperketat ekspor logam tanah jarang sejak Presiden AS Donald Trump melanjutkan perang dagang pada 2025. Meskipun ada sinyal pemulihan hubungan dagang, Beijing terus menggunakan kendali atas pasokan rare earth sebagai alat tawar-menawar strategis dalam persaingan global.
“Jika Kachin terus terganggu, mereka (China) akan mencari sumber alternatif,” ujar Neha Mukherjee dari Benchmark.
“China ingin mempertahankan kendali atas pasokan rare earth berat karena itu adalah alat strategis mereka,” tambahnya.