Sumber: Channel News Asia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Tiga warga negara Singapura dijatuhi sanksi oleh Amerika Serikat (AS) karena diduga terlibat dalam jaringan penipuan kripto berskala besar yang dijalankan oleh konglomerat asal Kamboja dan CEO kelahiran China.
Melansir Channelnewsasia Jumat (17/10/2025), langkah ini menjadi bagian dari penindakan terbesar yang pernah dilakukan AS dan Inggris terhadap jaringan kejahatan siber di Asia Tenggara.
Salah satu yang terkena sanksi adalah Chen Xiuling, atau dikenal juga sebagai Karen, yang telah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai direktur independen non-eksekutif di platform siaran langsung asal Taiwan, 17Live Group, sebagaimana diumumkan perusahaan di Bursa Singapura (SGX) pada Kamis (16/10).
Baca Juga: Korsel Larang Warganya ke Kamboja Usai Marak Kasus Penipuan dan Penyiksaan
Menurut pernyataan Departemen Keuangan AS melalui Office of Foreign Assets Control (OFAC) pada Selasa, 17 entitas bisnis yang terdaftar di Singapura juga ikut dikenai sanksi dalam operasi ini.
Penelusuran CNA menemukan bahwa 14 dari 17 entitas tersebut terdaftar di alamat yang sama, yakni 2 Jalan Kilang Barat, Bukit Merah, Singapura.
Sementara itu, Departemen Kehakiman AS menyatakan telah menyita sekitar US$15 miliar (setara S$19 miliar) dalam bentuk bitcoin yang terkait dengan kasus ini, menjadikannya penyitaan aset kripto terbesar dalam sejarah lembaga tersebut.
CEO sekaligus ketua Prince Holding Group, Chen Zhi, didakwa melakukan konspirasi penipuan daring dan pencucian uang terkait operasi kompleks penipuan tenaga kerja paksa di Kamboja.
Baca Juga: Skandal Kripto Raksasa: AS Sita Bitcoin Rp224 Triliun, Taipan Kamboja Jadi Tersangka
Siapa Tiga Warga Singapura yang Terlibat?
Menurut laporan The Business Times, tiga warga Singapura yang masuk dalam Daftar Khusus Warga yang Ditunjuk dan Orang yang Diblokir (Specially Designated Nationals and Blocked Persons List) oleh AS adalah Chen Xiuling, Alan Yeo Sin Huat, dan Nigel Tang Wan Bao Nabil.
Mereka dituduh memiliki hubungan dengan Chen Zhi, para afiliasinya, serta Prince Holding Group.
Pihak yang masuk daftar tersebut dianggap mengancam keamanan nasional dan kebijakan luar negeri AS.
Semua warga atau entitas AS dilarang bertransaksi dengan mereka, dan seluruh aset mereka diblokir.
OFAC menyebut Chen Xiuling (43 tahun) mengawasi sejumlah perusahaan Prince Holding Group yang berbasis di Mauritius, Taiwan, dan Singapura.
Dari 17 perusahaan yang disanksi, Chen terdaftar sebagai direktur, sekretaris perusahaan, atau pemegang saham di 14 di antaranya termasuk perusahaan induk yang mengelola kapal pesiar mewah milik Chen Zhi.
Dalam pernyataan di SGX, 17Live menegaskan bahwa peran Chen terbatas pada fungsi pengawasan dewan dan tidak terlibat dalam operasional bisnis perusahaan.
Baca Juga: Kekayaan Trump Melonjak pada Periode Kedua Kepresidenannya Berkat Kerajaan Kripto
Perusahaan juga menekankan bahwa tidak pernah melakukan transaksi bisnis dengan Chen Xiuling, DW Capital (tempat Chen bekerja), maupun Chen Zhi, yang diketahui sebagai pemegang saham DW Capital.
Menurut situs resmi DW Capital, Chen Xiuling menjabat sebagai Chief Finance Officer (CFO) dan merupakan akuntan chartered dengan pengalaman audit lebih dari 10 tahun. DW Capital didirikan oleh Chen Zhi.
Sementara itu, Alan Yeo (53 tahun) disebut berperan sebagai asisten keuangan dan pengelola kekayaan Chen Zhi.
Profil LinkedIn-nya menunjukkan bahwa ia menjabat sebagai CEO DW Capital sejak Januari 2022, setelah sebelumnya bekerja di Skyline Investment Management — salah satu dari 17 entitas yang juga dijatuhi sanksi.
Individu ketiga, Nigel Tang (32 tahun), tercatat sebagai direktur di tiga entitas yang disanksi, termasuk Cloud Xero Management dan Warpcapital Yacht Management.
Ia juga menjadi direktur sekaligus kepala operasional di Capital Zone Warehousing, perusahaan penyedia penyimpanan mewah untuk alkohol dan cerutu.
Baca Juga: Jack Dorsey Dorong Signal Adopsi Bitcoin, Kampanye Bitcoin for Signal Kian Menggema
Jaringan Perusahaan Cangkang Global
OFAC mencatat, sebagian besar dari 17 entitas yang disanksi di Singapura memiliki kegiatan utama yang tercatat sebagai “jasa konsultansi manajemen” atau “aktivitas holding lainnya.”
Perusahaan-perusahaan ini merupakan bagian dari jaringan 117 entitas yang terafiliasi dengan Prince Group, yang sebagian besar adalah perusahaan cangkang (shell companies) tanpa kegiatan bisnis nyata.
Selain di Singapura, entitas terkait jaringan ini juga terdaftar di Kamboja, Taiwan, Hong Kong, Palau, Laos, Kepulauan Virgin Britania, dan Kepulauan Cayman.
Skandal dan Tuduhan Eksploitasi
Pada Mei 2024, CNA pernah melaporkan dugaan bahwa Prince Holding Group memiliki jaringan keuangan lintas negara, perusahaan cangkang, dan penyelundupan uang tunai.
Saat itu, juru bicara perusahaan, Gabriel Tan, menolak tuduhan tersebut dan menyebut laporan tersebut “rasis, reduksionis, dan bermotif kebencian.”
Baca Juga: Bitcoin Butuh Pemicu Baru untuk Hindari Koreksi Lebih Dalam
Namun kini, Departemen Keuangan AS menuding Prince Holding Group meraup keuntungan dari serangkaian kejahatan transnasional, termasuk pemerasan seksual daring, pencucian uang, korupsi, perjudian ilegal, hingga perdagangan manusia dan penyiksaan tenaga kerja paksa.
Para korban dikabarkan dijanjikan pekerjaan bergaji tinggi, namun dipaksa bekerja di pusat penipuan daring (scam compounds) yang menjalankan skema “pig butchering” modus penipuan investasi kripto berskala besar.
Dokumen dakwaan menyebut Prince Group membangun setidaknya 10 kompleks penipuan di Kamboja, tempat korban dipaksa menipu orang lain untuk mengirimkan kripto dengan janji keuntungan tinggi.
Dana hasil penipuan itu kemudian dialirkan ke berbagai bisnis dan perusahaan cangkang Prince Group, serta digunakan untuk membeli barang mewah seperti jam tangan, karya seni, vila, dan perjalanan eksklusif.
Pihak berwenang menyatakan bahwa Chen Zhi (38 tahun) hingga kini masih buron.