Sumber: AFP | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON D.C. Negara-negara miskin di dunia saat ini mengalami kesulitan yang berlipat ganda sejak pandemi Covid-19 menyerang. Keterbatasan fasilitas kesehatan jelas jadi masalah utama yang dialami.
Belum cukup sampai di situ, negera-negara miskin ini nantinya masih harus berjuang untuk bisa mendapatkan pasokan vaksin dari uluran tangan negara tetangga yang lebih beruntung secara ekonomi.
Richard Hatchett, kepala Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), dengan terbuka mengakui kekhawatirannya terhadap distribusi vaksin yang mungkin akan sulit merata, terutama ke negara miskin.
Hatchett bertanggungjawab untuk memastikan vaksin virus corona bisa dibagikan secara adil dan merata ke seluruh dunia. Di sisi lain, negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa saat ini mengatakan akan fokus pada negaranya sendiri saja.
Baca Juga: WHO tegaskan vaksin Covid-19 barang umum milik publik
Melansir AFP, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jepang, dan negara Uni Eropa telah memesan hingga 3,1 miliar dosis vaksin corona.
Bahkan Presiden AS Donald Trump telah menandatangani kontrak yang menjamin ketersediaan 800 juta dosis vaksin dari 6 produsen yang berbeda. Padahal, populasi di AS hanya sekitar 330 juta jiwa saja.
"AS berpotensi memasuki situasi kelebihan pasokan jika semua vaksin yang mereka pesan benar-benar tersedia," ungkap Hatchett seperti dikutip dari AFP.
Hatchett memahami betul bahwa AS memprioritaskan warganya untuk mendapatkan vaksin dengan cepat dan adil, tapi ia berharap bahwa AS bisa sedikit lebih berbaik hati untuk mau berbagi dosis ke negara lain yang mengalami kesulitan ekonomi.
"Apa yang ingin kami sampaikan ke para pemimpin dunia adalah bahwa vaksin ini yang jumlahnya terbatas ini perlu dibagikan secara global. Seharusnya tidak ada segelintir negara yang menguasai vaksin pada paruh pertama tahun 2021," ungkap Hatchett.
Baca Juga: Sebanyak 500 subjek uji klinis telah disuntik vaksin corona buatan Sinovac
Hatchett khawatir kasus vaksin flu H1N1 tahun 2009 terulang kembali, di mana negara-negara kaya berhasil menguasai vaksin terlebih dahulu.
Gerakan Covax yang didukung oleh WHO, CEPI, serta kelompok aliansi vaksin Gavi telah dibentuk, bertujuan untuk membeli dan mendistribusikan vaksin secara adil pada tahun 2021. Sebanyak 2 miliar dosis vaksin diperkirakan siap tersedia.
Ada 92 negara berkembang dan 80 negara maju yang telah menandatangani kesepakatan Covax. Baru-baru ini, Uni Eropa bahkan telah menyumbang €400 juta untuk kelancaran distribusi. Sayangnya, negara adidaya Amerika Serikat tidak ikut dalam program Covax ini.
"Kami tidak ingin terikat dengan organisasi multilateral yang mendapat dukungan dari WHO yang korup dan China," ungkap juru bicara Gedung Putih Judd Deere pada hari Selasa (2/9), dikutip dari AFP.
Sejauh ini Covax baru berhasil mengamankan sebanyak 300 juta dosis vaksin dari AstraZeneca, sebuah perusahaan farmasi yang juga bekerja sama dengan AS, Uni Eropa, Rusia Korea Selatan, China, Amerika Latin, dan Brasil.
Baca Juga: AS tolak bergabung dalam Upaya vaksin Covid-19 global karena dipimpin WHO
CEPI yang ikut serta dalam program ini juga masih berusaha menjalin negosiasi dengan banyak perusahaan farmasi di seluruh dunia, termasuk perusahaan Moderna asal AS, di mana CEPI jadi salah satu pihak pertama yang berinvestasi di sana.
Kegiatan CEPI sejauh ini sebagian besar didanai oleh sumbangan publik dan swasta, termasuk dari Gates Foundation.
Sasaran ideal WHO adalah setiap negara bisa melakukan vaksinasi untuk 20% penduduknya, dimulai dari orang-orang yang paling rentan seperti petugas kesehatan.
Setelah ini CEPI, bersama WHO dan lembaga pendukung vaksin lainnya, masih berusaha untuk melobi negara-negara besar agar mau menyumbangkan dosis vaksin kepada negara lain yang kurang mampu.
Mereka juga masih terus berusaha menjamin ketersediaan anggaran penelitian vaksin di masa depan, karena penelitian yang ada saat ini masih belum bisa dipastikan akan berhasil.
Baca Juga: WHO tak lagi ambisius soal program 'vaksin Covid-19 untuk semua', ini sebabnya