Sumber: Yonhap,Yonhap | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Mantan negosiator senior AS pada hari Kamis (17/12) mengungkapkan bahwa tujuan akhir dari pengembangan nuklir Korea Utara adalah untuk mempertahankan rezim dan pemerintahan.
Dikutip dari Yonhap, Joseph DeTrani, mantan negosiator urusan nuklir AS dengan Korea Utara menjelaskan bahwa selama bertahun-tahun pihak Pyongyang hanya melakukan upaya pencegahan demi memperkuat rezim dan dinasti kepemimpinan.
DeTrani menjabat sebagai manajer untuk misi Korea Utara di Kantor Direktur Intelijen Nasional dari 2006-2010. Sebelumnya, pada tahun 2003-2006, ia bertugas sebagai utusan khusus Departemen Luar Negeri untuk pembicaraan enam pihak.
Baca Juga: AS menilai ancaman keamanan siber dari Korea Utara lebih kuat dari Rusia
Berbicara dalam sebuah seminar virtual yang diadakan oleh Institute for National Security Strategy (INSS), DeTrani menyampaikan bahwa bukanlah pilihan yang tepat jika menyebut Korea Utara sebagai negara pengguna senjata nuklir.
"Kami tahu ini merupakan keamanan untuk rezim, kemanan untuk kepemimpinan. Itulah tujuan utamanya," ungkap DeTrani, seperti dikutip Yonhap.
DeTrani juga menjelaskan bahwa upaya normalisasi hubungan antara Amerika Serikat dan Korea Utara terkait kepentingan nuklir merupakan hal yang positif dan perlu diteruskan.
Selama bertahun-tahun menjadi negosiator, DeTrani mengakui Korea Utara telah berulang kali melakukan uji coba rudal balistik antarbenua (ICBM). Ia juga mengiyakan hadirnya ICBM baru pada parade militer bulan Oktober lalu.
"Setelah melakukan negosiasi dengan Korea Utara selama bertahun-tahun, mereka melihatnya (nuklir) sebagai alat pencegahan dan mereka lebih fokus pada perubahan rezim," ungkap DeTrani.
Baca Juga: Ini alasan AS memilih Korea Utara sebagai negara pelanggar kebebasan beragama
Berdasarkan pengalamannya selama bertahun-tahun, DeTrani mendukung penuh upaya berkelanjutan untuk menyelesaikan masalah nuklir Korea Utara melalui upaya diplomatik tetapi tetap menentang gagasan mengakui Korea Utara sebagai negara nuklir.
Baginya, pengakuan seperti itu justru akan memicu perlombaan senjata dan ketidakstabilan di regioanal Asia Timur.
"(pengakuan) Korea Utara sebagai negara nuklir akan mendorong pihak lain, seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, untuk mengupayakan kemampuan senjata nuklir mereka. Itu akan mengabaikan komitmen pencegahan nuklir AS dengan para sekutunya tersebut," papar DeTrani.