Reporter: Mona Tobing | Editor: Catur Ari
Meski telah memperkerjakan 17.000 karyawan Afrika di De Beers, perusahaan berliannya, bukan berarti nama Nicky Oppenheimer harum di tanah kelahirannya. De Beers dinilai telah mengeksploitasi alam Afrika secara berlebihan. Tak hanya mewarisi harta dari De Beers, Nicky juga mewarisi berbagai macam persoalan hukum, masalah monopoli perdagangan hingga konflik masyarakat pemberontak. Permasalahan hukum ini bahkan menyentuh persoalan internasional.
Afrika memang dikenal sebagai ladang perhiasan. Inilah yang memicu banyak kaum imigran terbang ke benua ini untuk menguasai ladang emas.
Begitu juga dengan keluarga Oppenheimer asal Inggris yang mulai berbisnis tambang sejak tahun 1902. Hanya, sejak awal mulai berbisnis berlian, De Beers memang selalu berhadapan dengan persoalan.
Praktek monopoli dan eksploitasi yang dilakukan Keluarga Oppenheimer banyak menuai kecaman. Tidak hanya dari masyarakat setempat, namun juga menarik perhatian internasional. Kekayaan yang dimiliki Keluarga Oppenheimer tidak dibarengi dengan kesejahteraan masyarakat Afrika Selatan yang justru hidup di bawah garis kemiskinan. Pecahnya perang saudara di Afrika pun menarik PBB untuk turun tangan.
Pada tahun 1945, Ernest Oppenheimer, kakek Nicky dilaporkan Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) atas dugaan penyimpangan industri berlian di Amerika. Namun kasus tersebut berhenti karena De Beers tidak memiliki bangunan fisik perusahaan di tanah AS.
Namun di tahun 1994 ketika Nicky menjadi pemimpin, De Beers digugat Pengadilan Federal AS. Nicky dituduh berkolusi dengan General Electric, perusahaan Amerika yang bergerak di bidang infrastruktur energi. De Beers dinilai melawan hukum monopoli pasokan berlian dan berusaha hendak mengendalikan harga berlian.
Nicky membantah dengan tegas tuduhan itu dan melakukan class action yang ditujukan terhadap Departemen Kehakiman AS. Namun kemudian di tahun 2004, Nicky justru mengaku bersalah dan membayar denda $ 10 juta.
Konflik internasional yang terjadi di Angola menarik perhatian Global Witness yakni sebuah lembaga internasional menyoroti peran berlian dalam konflik internasional. Lantaran mendapatkan tekanan besar dari masyarakat dan lawan-lawannya pada tahun 1999 Nicky memutuskan untuk menghentikan semua pembelian berliannya. Ia menunggu situasi konflik perang saudara di Afrika hingga mereda.
Campur tangan PBB untuk memulihkan kondisi Afrika sedikit membawa angin segar bagi Nicky. Melalui Skema Sertifikasi Proses Kimberley atau yang dikenal dengan KPCS di tahun 2000, yakni sebuah rekonsiliasi yang bertujuan untuk mencegah 'berlian darah', PBB memaksa Nicky untuk mematuhi berbagai regulasi soal pembelian berlian harga yang layak ke penduduk lokal.
Kemudian soal kepastian bahwa semua perusahaan tidak membeli berlian yang berasal dari konflik dan tidak menguasai pertambangan berlian secara terpusat. Peraturan Kimberley inilah yang kemudian menghapuskan praktek monopoli De Beers selama 20 tahun.
Tidak hanya menandatangani di atas kertas peraturan Kimberley, Nicky bahkan sempat menduduki kursi Ketua KPCS di tahun 2003. Fokus KPCS saat itu tak hanya pada program mengurangi konflik berlian tapi juga membantu menstabilkan negara rapuh yang memiliki sumber pertambangan.
Meski berdarah Inggris namun sebagai warga negara Afrika, Nicky mementingkan tanah kelahirannya. Kepada media, ia sempat mengutarakan perasaan sedihnyanya sebagai kaum keturunan yang selalu dicurigai oleh penduduk setempat.
Bahkan dirinya mengakui bahwa posisinya sebagai Eurocentric putih cukup menyulitkannya bersosialisasi dengan masyarakat lokal. Padahal Nicky bangga sekali menjadi orang Afrika dan mengatakan kalau negaranya adalah tempat terbaik untuk tinggal dibandingkan Inggris, negara asal nenek moyang keluarga Oppenheimer.
(Bersambung)