kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.956.000   25.000   1,29%
  • USD/IDR 16.555   -90,00   -0,55%
  • IDX 6.926   28,03   0,41%
  • KOMPAS100 1.005   3,86   0,39%
  • LQ45 777   2,30   0,30%
  • ISSI 221   0,99   0,45%
  • IDX30 403   1,61   0,40%
  • IDXHIDIV20 475   0,87   0,18%
  • IDX80 113   0,26   0,23%
  • IDXV30 115   0,38   0,33%
  • IDXQ30 131   -0,13   -0,10%

Setelah Ukraina, Afrika Jadi Target Baru AS dalam Perebutan Mineral Strategis


Rabu, 07 Mei 2025 / 16:57 WIB
Setelah Ukraina, Afrika Jadi Target Baru AS dalam Perebutan Mineral Strategis
ILUSTRASI. Amerika Serikat ternyata tengah menjajaki peluang yang lebih signifikan di wilayah Danau Besar, Afrika. REUTERS/Nathan Howard 


Sumber: Reuters | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - LONDON. Di tengah sorotan terhadap kesepakatan mineral dengan Ukraina, Amerika Serikat ternyata tengah menjajaki peluang yang lebih signifikan di wilayah Danau Besar, Afrika.

Pemerintah Republik Demokratik Kongo (RDK) mendekati pemerintahan Donald Trump pada Februari lalu dengan proposal serupa seperti Ukraina, sebagai respons terhadap kemajuan pesat kelompok pemberontak M23 yang didukung Rwanda di timur negara tersebut.

Respons Washington cukup agresif. Serangkaian negosiasi intens dilakukan demi mengakhiri konflik puluhan tahun yang berakar dari genosida Rwanda 1994. Kini muncul momentum politik menuju kesepakatan damai antara Kongo dan Rwanda, yang bisa tercapai secepatnya pada Mei — disertai kesepakatan mineral bilateral antara kedua negara dan AS.

Baca Juga: Ini Deretan Merek-Merek Ikonik Amerika yang Telah Dikuasai Perusahaan China

Potensi dan Risiko di Kivu

Wilayah Kivu Utara dan Selatan menjadi titik utama dalam persaingan ini, kaya akan mineral seperti timah, tungsten, dan coltan, namun penuh konflik.

Tambang timah Bisie di Walikale menjadi perhatian utama. Sebagai tambang modern yang menjadi produsen timah konsentrat keempat terbesar dunia, operasionalnya dihentikan ketika M23 mendekat — memicu lonjakan harga timah global.

Namun, penarikan mundur M23 sebagai "gestur niat baik" membuka ruang bagi pembicaraan damai. Tambang kembali beroperasi sejak 15 April.

Di luar Bisie, lebih dari 2.800 situs pertambangan di timur Kongo masih bersifat artisanal. Penelitian IPIS mencatat dari 829 situs aktif, sekitar 132.000 penambang bekerja di sana antara 2021–2023.

Sebanyak 61% situs mengalami campur tangan bersenjata, baik dari milisi lokal maupun tentara nasional. Perdagangan coltan dari Rubaya dikendalikan M23, yang mengenakan pajak 15% pada penambang.

Baca Juga: Krisis Tisu Toilet Ancam Amerika Serikat Akibat Kebijakan Tarif Impor Trump

Ancaman Rantai Pasok Global

Penambangan konflik ini menjadi perhatian dunia, terutama pasca Undang-Undang Dodd-Frank 2010 yang mewajibkan perusahaan AS untuk memastikan rantai pasok bebas dari mineral konflik. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sedikit perubahan — memperparah kebocoran logam ke luar negeri dan mencemari pasokan resmi.

Jika kesepakatan damai di timur tercapai, ini membuka babak baru dalam "permainan mineral" global. Sementara wilayah Katanga di selatan Kongo — kaya tembaga dan kobalt — masih didominasi operator Tiongkok, AS dan sekutu kini berinvestasi di proyek Koridor Lobito, jalur kereta yang menghubungkan pelabuhan Lobito (Angola) ke tambang Kongo.

Tiongkok merespons dengan kesepakatan US$1,4 miliar untuk meng-upgrade rel Tanzania-Zambia.

Kereta api kini menjadi simbol perebutan pengaruh antara Tiongkok dan Barat di Afrika. Jika kesepakatan mineral-untuk-keamanan di wilayah utara berhasil, ini akan membuka front baru dalam kompetisi strategis global serta mengubah arah sejarah mineral Kongo.

Selanjutnya: Jus Penurun Kolesterol Paling Cepat, Ini 10 Rekomendasinya

Menarik Dibaca: Jus Penurun Kolesterol Paling Cepat, Ini 10 Rekomendasinya



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×