Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Pemangkasan (curtailment) pembangkit listrik tenaga angin dan surya di Jepang diperkirakan mencapai rekor tertinggi tahun ini, seiring meningkatnya penggunaan tenaga nuklir.
Kondisi ini memperburuk tekanan bagi sektor energi terbarukan yang tengah ditinggalkan banyak pemain, menurut tinjauan Reuters atas data industri.
Baca Juga: Ekonomi Jepang Pulih, tapi Industri Otomotif Tertekan Tarif AS
Sejak bencana nuklir Fukushima 2011 yang memicu penghentian reaktor secara nasional, Jepang produsen listrik terbesar kelima di dunia secara bertahap kembali mengoperasikan sejumlah reaktor nuklir.
Hingga kini, 14 dari 33 reaktor komersial sudah beroperasi kembali, termasuk dua yang diaktifkan tahun lalu.
Satu reaktor lain mendapat persetujuan awal tahun ini, meski kemungkinan baru beroperasi pada 2027.
Kebangkitan tenaga nuklir membantu menekan biaya impor energi fosil yang mahal serta memenuhi lonjakan kebutuhan listrik dari industri semikonduktor dan pusat data.
Namun, karena listrik nuklir sulit diatur fleksibilitas produksinya, kapasitas jaringan listrik untuk menampung energi terbarukan menjadi terbatas.
Baca Juga: Trump Minta Jepang Bayar Investasi Tunai, Jepang Siap Renegosiasi
Pemangkasan merujuk pada energi angin atau surya yang seharusnya bisa diproduksi tetapi ditolak jaringan karena keterbatasan kapasitas.
Menurut analisis Reuters terhadap data Renewable Energy Institute (REI), pemangkasan di sembilan dari sepuluh wilayah jaringan Jepang melonjak 38,2% menjadi 1,77 terawatt-jam (TWh) atau 2,3% dari total produksi energi hijau sepanjang Januari–Agustus 2024.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan 1,28 TWh atau 1,8% pada periode yang sama tahun lalu, sekaligus melampaui rekor tahunan 1,9% pada 2023.
“Unit nuklir diprioritaskan dalam distribusi listrik Jepang, sehingga angin dan surya dipaksa dipangkas,” ujar Michiyo Miyamoto, spesialis pembiayaan energi Jepang di Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).
Ia mencontohkan kenaikan output dari reaktor Shimane No.2 di wilayah Chugoku yang kembali aktif pada Desember lalu.
Baca Juga: 6 Film Terbaik Ghibli yang Wajib Ditonton Penggemar Animasi Jepang
Target Jangka Panjang vs Realita
Pemerintah Jepang menargetkan energi terbarukan menyumbang hingga 50% bauran listrik tahunan pada 2040, sementara nuklir ditargetkan 20%. Sebagai perbandingan, pada tahun fiskal 2023 kontribusinya baru 23% dan 8,5%.
Namun, hilangnya pendapatan akibat pemangkasan justru memperparah kondisi sektor energi terbarukan.
Laporan IEEFA pada Agustus mencatat rekor 52 pengembang energi terbarukan keluar dari Jepang pada tahun fiskal yang berakhir Maret, termasuk delapan perusahaan yang bangkrut.
Selain itu, grup yang dipimpin raksasa perdagangan Mitsubishi mundur dari tiga proyek angin lepas pantai karena lonjakan biaya, menimbulkan kekhawatiran atas kelangsungan proyek serupa.
Data International Renewable Energy Agency menunjukkan instalasi baru angin dan surya di Jepang hanya tumbuh 3,3% pada 2024—laju paling lambat sejak 2009.
“Jika pemangkasan melampaui perkiraan, proyek-proyek energi terbarukan akan semakin sulit balik modal dan bisa menghambat investasi baru,” kata Kenichi Onishi, peneliti di Institute of Energy Economics, Japan.
Baca Juga: Trump Klaim Korea Selatan dan Jepang Bayar Investasi Secara Kontan di Muka
Tantangan Infrastruktur Jaringan
Kekurangan transmisi dan perawatan jaringan juga memperparah masalah. Di Kyushu, pemangkasan mencapai 7,6% dalam lima bulan pertama tahun fiskal ini, sementara Tohoku mengalami lonjakan dari 2,1% menjadi 5,8%, menurut data REI.
“Masalah utama adalah kapasitas transfer jaringan antarwilayah yang kurang memadai. Pembangunan PLTS di Kyushu melampaui permintaan lokal dan kemampuan ekspor listrik,” ujar Uran-Ulizi Batyabar, analis Rystad Energy di Tokyo.
Kementerian Perindustrian Jepang menyebut tengah mengatasi persoalan ini dengan membangun jalur transmisi antarwilayah, mendorong penggunaan baterai penyimpanan, serta mengatur konsumsi listrik saat produksi tinggi.
Namun, sejumlah analis memperingatkan bahwa kecuali regulasi diubah agar memprioritaskan energi terbarukan dibandingkan pemain lama, Jepang berisiko makin tertinggal dari tren global yang justru menunjukkan lonjakan investasi energi hijau.