Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Pendapatan raksasa industri pertahanan China turun pada 2024 seiring operasi pemberantasan korupsi yang menghambat kontrak dan pengadaan senjata, menurut laporan lembaga kajian konflik Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) yang dirilis Senin (1/12/2025).
Penurunan tersebut kontras dengan pertumbuhan pendapatan kuat yang dicatat para produsen senjata global, didorong oleh perang di Ukraina dan Gaza serta meningkatnya ketegangan regional.
Baca Juga: Reformasi Pajak Penghasilan Akan Suntik Ekonomi Brasil Rp 86 Triliun Tahun Depan
“Serangkaian tuduhan korupsi dalam pengadaan senjata China menyebabkan penundaan atau pembatalan berbagai kontrak besar pada 2024,” kata Nan Tian, Direktur Program Pengeluaran Militer dan Produksi Senjata SIPRI.
“Hal ini memperbesar ketidakpastian atas modernisasi militer China dan kapan kemampuan baru dapat terealisasi.”
Pendapatan China Turun 10%, Jepang Naik 40%
Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) kembali menjadi sasaran utama kampanye anti-korupsi Presiden Xi Jinping yang dimulai 2012 dan memuncak pada 2023 ketika unit elitnya, Rocket Force, ikut disisir.
Pada Oktober, delapan jenderal senior dikeluarkan dari Partai Komunis karena dugaan korupsi, termasuk Wakil Ketua Komisi Militer Pusat He Weidong.
Baca Juga: Aktivitas Manufaktur Jepang Melambat pada November, Tapi Membaik Dibanding Oktober
Diplomat Asia dan Barat mengatakan mereka masih menilai seberapa luas dampak pembersihan tersebut terhadap kebangkitan militer China dan rantai komandonya.
Pendapatan perusahaan militer terbesar China turun 10% tahun lalu, sementara Jepang melonjak 40%, Jerman 36% dan AS naik 3,8%, menurut data SIPRI.
Secara global, pendapatan 100 produsen senjata terbesar naik 5,9% menjadi rekor US$679 miliar.
Penurunan China menjadikan Asia-Oseania satu-satunya kawasan dengan kontraksi pendapatan.
Penurunan ini terjadi meskipun anggaran pertahanan China terus meningkat dalam tiga dekade terakhir di tengah rivalitas strategis dengan Amerika Serikat dan ketegangan terkait Taiwan serta Laut China Selatan.
Baca Juga: Bursa Saham Australia Tertekan, Sektor Konsumer Seret Indeks di Awal Desember
Efek Pada Modernisasi, Namun Investasi Jangka Panjang Jalan Terus
Penurunan pendapatan dialami AVIC, produsen darat Norinco, dan pembuat sistem kedirgantaraan serta rudal CASC tiga perusahaan negara terbesar.
Norinco mencatat penurunan terdalam hingga 31% menjadi US$14 miliar.
Perombakan personel akibat kasus korupsi di Norinco dan CASC memicu peninjauan ulang proyek dan penundaan, sementara pengiriman pesawat militer AVIC turut melambat, kata SIPRI.
Baca Juga: PMI Manufaktur Korea Selatan Kontraksi Lagi di November 2025
Penundaan tersebut dapat memengaruhi jadwal penyediaan sistem-sistem canggih PLA Rocket Force, pengendali rudal balistik, hipersonik, dan jelajah serta program kedirgantaraan dan siber, menurut peneliti SIPRI Xiao Liang.
Hal ini menambah ketidakpastian terhadap target kesiapan tempur PLA menjelang peringatan 100 tahun pada 2027.
“Namun, dalam jangka menengah dan panjang, investasi pertahanan China kemungkinan tetap berlanjut seiring komitmen politik terhadap modernisasi, meski dengan konsekuensi berupa keterlambatan, biaya lebih tinggi, dan kontrol pengadaan yang lebih ketat,” kata Liang.













