Sumber: Bloomberg | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Eskalasi perang dingin antara Amerika Serikat dan China di Laut China Selatan (LCS) meningkat akhir-akhir ini.
Selain keduanya saling memamerkan kekuatan dan saling sindir mengenai pandemi virus corona, sebenarnya kedua kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut tengah memperebutkan cadangan minyak dan gas alam di dasar LCS.
Hal itu sebagaimana diungkapkan Mantan Komandan Sekutu Tertinggi NATO dan pensiunan Angkatan Laut AS, Laksamana James Stavrdis dalam opininya di Bloomberg, Jumat (22/5/2020).
Stavrdis mengatakan, ia telah menghabiskan sebagian besar karir militernya berlayar di Pasifik dan berlayar berkali-kali melewati perairan lembab Laut China Selatan.
Baca Juga: Bawa 1.000 ton senjata, AS kirim kapal induk Ronald Reagen ke perairan Indo-Pasifik
Stavrdis mengatakan Laut China Selatan merupakan perairan yang besar dan luas. Ukurannya setara dengan laut Karibia dan Teluk Meksiko bila digabungkan.
Nah ia menuturkan, dasar LCS penuh dengan cadangan minyak dan gas. Kemudian hampir 40% perdagangan internasional melewati jalur ini. Sehingga wilayah LCS sangat strategis.
Menurut Stavrdis, China telah mengklaim sebagian besar Laut China Selatan merupakan laut teritorialnya. Dan saat hubungan China dan AS memburuk dipicu virus corona dan faktor politik, dimana tahun ini pemilihan presiden AS, peluang konflik dengan China meningkat.
Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa kapal perang AS, termasuk kapal perusak yang pernah di bawah komando Stavrdis pada awal 1990-an, Barry, telah berkonfrontasi dengan kapal patroli militer Tiongkok.
Baca Juga: Respons NATO, Rusia tambah enam kapal perang baru perkuat Armada Baltik
Stavrdis menjelaskan, LCS menjadi titik nyala yang dapat memicu perang AS-China didasarkan banyak penyebab selain yang sudah dituliskan sebelumnya.
Dasar-dasar historis klaim China terhadap wilayah ini kembali ke pelayaran laksamana Zheng He abad ke-15. Stavrdis menulis tentang laksamana Zheng dalam buku terbarunya "Sailing True Nort,".