Sumber: Associate Press | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Jepang dan China terlibat perang kata-kata pada Senin (11/11/225). Insiden ini terjadi setelah Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi mengatakan bahwa serangan China terhadap Taiwan dapat dianggap sebagai “situasi yang mengancam kelangsungan hidup” bagi Jepang dan bisa memerlukan penggunaan kekuatan militer.
Mengutip AP, Takaichi, yang bulan lalu terpilih sebagai perdana menteri perempuan pertama Jepang, mengatakan pada Jumat lalu bahwa penggunaan kekuatan militer oleh China di sekitar Taiwan dapat dikategorikan sebagai “ancaman eksistensial.”
Pernyataan tersebut memicu kritik tajam dari Beijing selama akhir pekan.
“Kami tidak punya pilihan selain memutus leher kotor yang menyerang kami tanpa ragu. Apakah kalian sudah siap?” tulis Konsul Jenderal China di Jepang, Xue Jian, dalam unggahan di X (sebelumnya Twitter) yang kemudian dihapus.
Xue juga mengkritik pernyataan mantan Perdana Menteri Shinzo Abe dan beberapa anggota parlemen Jepang sebelumnya yang mengatakan bahwa “darurat Taiwan berarti darurat bagi Jepang.”
Menurutnya, pernyataan itu adalah bentuk “campur tangan terang-terangan dalam urusan dalam negeri China dan pelanggaran terhadap kedaulatan” yang memerlukan penarikan dan permintaan maaf resmi.
Baca Juga: China Umumkan Pembatasan Ekspor Bahan Kimia setelah Kesepakatan Fentanyl dengan Trump
Pada Senin, Sekretaris Kabinet Jepang Minoru Kihara mengatakan Tokyo telah mengajukan protes resmi kepada Beijing atas unggahan Xue tersebut.
“Meski maksud dari unggahan (Xue) tidak sepenuhnya jelas, kami harus menyatakan bahwa komentar itu sangat tidak pantas,” kata Kihara.
Kementerian Luar Negeri Jepang kemudian menyampaikan “protes keras” dan menuntut agar unggahan itu dihapus, sembari meminta penjelasan dari pemerintah China.
Ketegangan ini mengindikasikan bahwa hubungan Jepang–China di bawah kepemimpinan Takaichi kemungkinan tidak akan mulus, meskipun sebelumnya ia tampak menjalin pertemuan hangat dengan Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan dalam pertemuan puncak APEC.
Takaichi, yang dikenal berpandangan ultrakonservatif, berkomitmen memperkuat militer Jepang dan bahkan bertemu dengan perwakilan Taiwan dalam konferensi tersebut sehari setelah bertemu Xi — langkah yang memicu kemarahan Beijing.
Baca Juga: Pembatalan Penerbangan Melonjak, Trump Minta Air Traffic Controllers Kembali Bekerja
Di Beijing, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian mengatakan bahwa unggahan Xue bersifat pribadi dan diarahkan pada “pernyataan berbahaya yang mencoba memisahkan Taiwan dari wilayah China dan mendorong intervensi militer di Selat Taiwan.”
Ia menuding sebagian politisi dan media Jepang telah memperkeruh situasi untuk mengalihkan perhatian publik.
China juga telah mengajukan “keluhan dan protes resmi” kepada Jepang atas pernyataan Takaichi, kata Lin.
“Apakah Jepang bermaksud menantang kepentingan inti China dan menghalangi perjuangan besar untuk reunifikasi China?” ujarnya. “Ke mana Jepang berniat membawa hubungan China–Jepang?”
China menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan belum pernah menolak kemungkinan penggunaan kekuatan militer untuk membawa pulau yang memiliki pemerintahan sendiri itu di bawah kendali Beijing.
Perselisihan diplomatik terbaru ini bermula pada Jumat lalu, ketika Takaichi ditanya di parlemen tentang skenario yang dapat dianggap sebagai ancaman terhadap Jepang.
Takaichi mencontohkan kemungkinan blokade laut China terhadap Taiwan atau tindakan militer untuk menghalangi kedatangan pasukan AS.
Tonton: Bos Nvidia Yakin China Akan Kalahkan AS dalam Perlombaan AI
“Jika melibatkan kapal perang dan tindakan militer, hal itu bisa saja menjadi situasi yang mengancam kelangsungan hidup,” ujarnya, “di mana Jepang dapat menggunakan kekuatan untuk pertahanan diri.”
Pernyataannya dianggap menyimpang dari sikap hati-hati para pendahulunya dan memicu kontroversi yang membuat Takaichi kemudian mengklarifikasi bahwa ucapannya masih sejalan dengan kebijakan resmi sebelumnya.
Kesimpulan:
Pernyataan Perdana Menteri Sanae Takaichi tentang Taiwan memperburuk hubungan diplomatik Jepang–China yang sudah tegang. Bagi Beijing, ucapan itu dipandang sebagai provokasi dan bentuk campur tangan terhadap kedaulatannya, sementara bagi Tokyo, ini adalah sinyal bahwa Jepang siap mengambil sikap lebih tegas terhadap ancaman regional. Kontroversi ini menyoroti tantangan besar yang dihadapi Takaichi di awal masa jabatannya: menjaga keseimbangan antara keamanan nasional dan stabilitas hubungan dengan negara tetangga paling berpengaruh di Asia.













