Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tiga tahun terakhir menjadi masa paling sulit bagi Xie Dandan dan keluarganya dalam lebih dari satu dekade membudidayakan salah satu hidangan paling bergengsi di Tiongkok, kepiting bulu (hairy crab), dinamai demikian karena cakar depannya yang berbulu.
“Sejak tahun 2022, rasanya cuaca semakin buruk setiap tahun,” ujar perempuan berusia 34 tahun itu, sambil membungkus kepiting di tangannya dengan jerami di antara deretan tangki penuh hewan laut yang menjadi incaran pencinta kuliner karena daging manis dan telur emasnya.
“Kami sudah terbiasa menyiapkan diri secara mental menghadapi kerugian seperti ini,” ujarnya pasrah.
Panas Ekstrem Ganggu Siklus Budidaya
Xie adalah salah satu dari banyak petani di Danau Yangcheng, Provinsi Jiangsu, yang kini harus mencari cara baru agar kepiting tetap hidup di tengah kenaikan suhu ekstrem dan musim panas yang semakin panjang sejak 2022.
Kepiting jenis ini, dikenal juga sebagai Chinese mitten crab, merupakan komoditas bernilai tinggi yang diekspor ke negara seperti Singapura dan Jepang, dengan harga mencapai ratusan dolar per empat ekor.
Baca Juga: Bursa China Cetak Rekor, Terkerek Ekspektasi Kesepakatan Dagang AS-China
“Mereka yang bekerja di pertanian hanya bisa pasrah kepada langit,” kata Xie, mengingat kerugian besar akibat topan terkuat sejak 1949 yang melanda pesisir timur tahun lalu. Topan tersebut merusak jaring, memutus sistem oksigenasi, dan menenggelamkan sebagian besar peternakan kepiting.
Dampak Suhu Tinggi: Pertumbuhan Lambat dan Kematian Saat Molting
Menurut Kenneth Leung, pakar lingkungan laut dari City University of Hong Kong, suhu tinggi membawa “ancaman tiga kali lipat” bagi kepiting bulu — memperlambat pertumbuhan, mengurangi kadar oksigen di air, dan mempercepat pertumbuhan bakteri.
Harapan akan panen melimpah tahun ini pupus setelah suhu di sekitar Danau Yangcheng, Suzhou, tetap berada di atas 30°C hingga akhir Oktober, sehingga menunda kematangan kepiting.
Budidaya kepiting bulu tergolong padat karya. Siklusnya dimulai dari penetasan larva di kolam selama satu tahun, sebelum dipindahkan ke area berpagar di danau untuk proses molting (pergantian cangkang) sebanyak lima kali antara Maret hingga masa panen pada akhir September.
Namun, panas berlebih kerap membunuh kepiting saat molting, selain memperlambat pertumbuhan. Pada 2022, para petani bahkan terpaksa menaruh balok es ke dalam air untuk menurunkan suhu, kata Xie.
Perubahan Iklim dan Masa Depan Industri Kepiting Bulu
Dalam tiga tahun terakhir, wilayah timur Tiongkok mengalami musim panas terpanas dan terpanjang dalam sejarah, dengan suhu mencapai 40°C atau lebih selama berhari-hari berturut-turut sejak Juli.
Baca Juga: Brand Barang Mewah Dunia Tawarkan Pengalaman Pribadi Gaet Pasar China
Menurut badan meteorologi Tiongkok, musim panas tahun ini adalah yang terpanas sejak 1961, sementara curah hujan di utara mencapai rekor terlama dalam periode yang sama — kondisi ekstrem yang oleh ilmuwan dikaitkan dengan perubahan iklim global.
Leung menilai salah satu solusi jangka panjang adalah seleksi genetik dengan mengembangbiakkan kepiting yang lebih tahan terhadap suhu tinggi.
Otoritas setempat memperkirakan hasil panen tahun ini mencapai 10.350 ton, sebanding dengan rata-rata tahunan, kecuali tahun lalu yang hanya 9.900 ton akibat topan besar.
Namun, bagi Xie dan petani lainnya, nasib industri ini kini bergantung pada alam. “Kami hanya bisa berharap kepiting bulu mampu beradaptasi. Jika tidak, mungkin industri ini akan lenyap. Kami tidak bisa berbuat apa-apa,” katanya.













