Sumber: Al Jazeera | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebuah studi terbaru dari World Weather Attribution dan lembaga riset iklim asal Amerika Serikat, Climate Central, mengungkap peningkatan jumlah hari dengan suhu ekstrem berbahaya atau “superhot days” akibat perubahan iklim.
Hari “superhot” didefinisikan sebagai hari dengan suhu yang lebih panas dibandingkan 90 persen hari serupa pada periode 1991–2020. Laporan ini, yang dirilis Kamis (16/10), belum melalui proses peer review namun menggunakan metode atribusi iklim yang telah diakui secara ilmiah.
Dampak Kesepakatan Paris terhadap Pemanasan Global
Studi tersebut menyoroti peran penting Perjanjian Paris 2015 dalam menahan laju pemanasan global. Sebelum kesepakatan itu, dunia diproyeksikan menuju skenario bencana dengan kenaikan suhu hingga 4°C pada akhir abad ini — yang akan menambah rata-rata 114 hari superpanas per tahun.
Baca Juga: Cuaca Panas Ekstrem Landa Indonesia, Polytron Genjot Penjualan AC Jelang Akhir Tahun
Kini, dengan komitmen penurunan emisi yang sudah diterapkan, dunia berada di jalur menuju kenaikan 2,6°C. Dalam skenario ini, Bumi diperkirakan akan mengalami tambahan 57 hari superpanas setiap tahun hingga 2100, atau setara hampir dua bulan suhu ekstrem — setengah dari skenario terburuk sebelum 2015.
Sejak perjanjian Paris diberlakukan, jumlah hari superpanas sudah meningkat rata-rata 11 hari per tahun di seluruh dunia.
Para Ahli: “Skenario Saat Ini Masih Bencana bagi Umat Manusia”
Direktur Potsdam Climate Institute, Johan Rockström, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, memperingatkan agar dunia tidak merasa lega hanya karena tidak lagi berada di jalur pemanasan 4°C.
“Kenaikan 2,6 derajat saja sudah berarti masa depan yang bencana bagi miliaran manusia di Bumi,” ujarnya.
Studi tersebut tidak merinci berapa banyak populasi yang akan terdampak langsung oleh tambahan hari superpanas ini. Namun, Friederike Otto dari Imperial College London, salah satu penulis laporan, menegaskan bahwa jumlahnya bisa mencapai “puluhan ribu hingga jutaan orang”.
“Setiap tahun sudah ada ribuan orang meninggal akibat gelombang panas,” tambah Otto.
Ketimpangan Iklim: Negara Kecil Menanggung Beban Terbesar
Penelitian ini juga menyoroti ketidakadilan dampak perubahan iklim secara global. Negara-negara kecil dan bergantung pada lautan diproyeksikan menjadi korban utama, meskipun kontribusi mereka terhadap emisi karbon sangat kecil.
Baca Juga: BMKG Prediksi Suhu Panas hingga Awal November 2025: Tips & Info
Sepuluh negara yang akan mengalami peningkatan terbesar dalam jumlah hari panas berbahaya hampir semuanya adalah negara kepulauan kecil, seperti Panama, Kepulauan Solomon, dan Samoa.
-
Panama diperkirakan akan menghadapi tambahan 149 hari superpanas setiap tahun pada akhir abad ini.
-
Sepuluh negara ini secara kolektif hanya menghasilkan 1 persen emisi gas rumah kaca global.
Sebaliknya, tiga negara dengan emisi karbon tertinggi di dunia — Amerika Serikat, China, dan India — diproyeksikan hanya akan mengalami tambahan 23 hingga 30 hari superpanas per tahun. Padahal ketiganya menyumbang 42 persen dari total emisi karbon dioksida global.
Ketimpangan Iklim dan Risiko Geopolitik
Ahli iklim dari University of Victoria, Andrew Weaver, yang juga tidak terlibat dalam studi ini, menyebut fenomena tersebut sebagai bentuk nyata “ketimpangan panas global”.
“Kesenjangan ini menambah jurang antara negara kaya dan miskin, dan berpotensi menimbulkan ketidakstabilan geopolitik di masa depan,” kata Weaver.