Sumber: BBC | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - VATIKAN. Raja Inggris Charles III dan Paus Leo mencatat sejarah baru di Kapel Sistina, Vatikan, dengan berdoa berdampingan, momen pertama kalinya bagi pemimpin Gereja Inggris dan Gereja Katolik.
Di bawah tatapan mural The Last Judgment karya Michelangelo, ketika Paus Leo mengucapkan, “Mari kita berdoa,” semua orang, termasuk Raja, menundukkan kepala bersama, menandai berakhirnya jarak panjang antara dua gereja yang terpisah sejak Reformasi abad ke-16.
Upacara diisi dengan musik dan doa bertema alam yang melintasi sekat teologi, menghadirkan ketenangan bagi Raja dan Ratu di tengah sorotan publik terkait skandal Pangeran Andrew selama kunjungan kenegaraan mereka ke Vatikan.
Namun perhatian media tetap tak terelakkan. Pertanyaan seputar hubungan Andrew dengan pelaku kejahatan seksual Jeffrey Epstein masih terus menghantui.
Baca Juga: Paus Leo XIV akan Gelar Misa Pertama di Kapel Sistina
Bahkan di dalam Vatikan, Raja Charles sempat berkomentar bahwa kamera merupakan “bahaya yang konstan”.
Paus Leo menjawab santai, “Anda akan terbiasa,” menunjukkan bahwa ia pun sudah akrab dengan sorotan publik yang tak henti, meski terasa aneh mendengar Paus berbicara dengan logat Amerika yang begitu rileks.
Ironisnya, di balik rasa jengah terhadap media, keberadaan pers justru menjadi alasan utama pentingnya kunjungan semacam ini.
Tak ada masyarakat umum yang diizinkan melewati barikade keamanan; hanya kamera dan berita yang memberi makna dan dampak pada momen-momen bersejarah ini. Tanpa media, mungkin kunjungan kenegaraan cukup dilakukan lewat Zoom.
Kunjungan singkat ke Vatikan ini penuh dengan momen elegan dan simbolis di tengah keindahan arsitektur kota bersejarah itu. Di Kapel Sistina, paduan suara Katolik dan Anglikan benar-benar “menyanyi dari lembar lagu yang sama”, menampilkan citra harmoni dan persatuan antara dua gereja yang dulu saling bermusuhan.
Dikelilingi karya seni Renaisans, pertemuan ini menjadi momen penting bagi Raja Charles, pecinta seni, musik, dan agama. Namun momen yang lebih pribadi datang kemudian, saat Raja dan Ratu mengunjungi Gereja St. Paul Outside the Walls.
Baca Juga: Para Kardinal & Tokoh Gereja Beri Gambaran Awal Soal Arah Kepemimpinan Paus Leo XIV
Mereka menuruni tangga menuju makam St. Paulus, salah satu rasul Kristus, untuk berdoa dalam keheningan, seolah kembali ke akar sejarah Kekristenan.
Setelah doa singkat, mereka kembali ke basilika megah di atasnya, dengan langit-langit tinggi bergema lantunan paduan suara.
Kunjungan ini memiliki makna simbolis karena gereja tersebut pernah berhubungan erat dengan monarki Inggris sebelum terjadinya Reformasi,menyatukan kembali potongan sejarah yang lama terpisah.
Hari itu ditutup dengan pertukaran cendera mata. Raja Charles menghadiahkan ikon kepada Paus Leo, mencerminkan ketertarikannya pada tradisi Gereja Ortodoks. Keduanya juga saling menganugerahkan gelar kehormatan, meski di tengah isu publik, nilai dari penghargaan semacam itu mungkin dipertanyakan.
Bagi Istana Buckingham, kunjungan ini menjadi penyelesaian dari lawatan kenegaraan yang sempat tertunda karena kondisi kesehatan Paus sebelumnya, sekaligus jeda sejenak dari tekanan isu Pangeran Andrew.
Baca Juga: Reformasi Vatikan Berlanjut, Paus Leo XIV Bakal Umumkan Perubahan Besar?
Mungkin pesan terbesar dari hari itu adalah tentang rekonsiliasi, bahkan jika harus menunggu berabad-abad. Di bawah langit-langit Kapel Sistina, terdengar lantunan musik karya Thomas Tallis, komponis Katolik Inggris dari abad ke-16 yang hidup di tengah kekerasan konflik agama.
Lima abad kemudian, musiknya kembali menggema, kali ini bukan untuk dua pihak yang berperang, melainkan bagi Raja dan Paus yang kini berdiri di sisi yang sama.













