kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45897,60   4,88   0.55%
  • EMAS1.365.000 -0,22%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ruang Kosong Gedung Perkantoran Terus Meningkat Secara Global


Senin, 01 Juli 2024 / 18:16 WIB
Ruang Kosong Gedung Perkantoran Terus Meningkat Secara Global
ILUSTRASI. A U.S. flag is seen outside the New York Stock Exchange (NYSE) in New York City, U.S., January 26, 2023. REUTERS/Andrew Kelly


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk

KONTAN.CO.ID - ​JAKARTA. Pasar properti komersial secara global kian memburuk. Tingkat kekosongan ruang-ruang perkantoran masih saja tinggi, meski pandemi Covid-19 sudah lama berlalu.

Pasca pandemi, preferensi sistem kerja masyarakat global memang mengalami perubahan. Banyak perusahaan menerapkan sistem hybrid atau kombinasi kerja dari rumah alias work from home (WFH) dan kerja langsung dari kantor atau work from office (WFO).

Di Amerika Serikat (AS), misalnya, fenomena tersebut menyebabkan tingkat kekosongan ruang-ruang kantor semakin meningkat.

Menurut laporan Moody’s dilansir dari Bloomberg, Minggu (30/6), tingkat kekosongan ruang kantor mencapai 19,6% pada kuartal IV-2023. Padahal, rata-rata tingkat kekosongan sebelum pandemi hanya 16,8%.

Baca Juga: Pacu Ekspansi Proyek, Pengembang Properti Bakal Rajin Tambah Lahan

Moody’s memperkirakan tingkat kekosongan itu akan  naik jadi 25% pada kuartal I-2024 dan diprediksi mencapai 25% pada 2026. Kenaikan itu diperkirakan akan mengurangi pendapatan pemilik gedung-gedung kantor sekitar US$ 8 miliar-US$ 10 miliar kuartal I-2024.

Nilai properti komersial di AS pada 2026 diproyeksi akan menyusut US$ 250 miliar atau setara Rp 4.075 triliun. "Kondisi ini pada akhirnya dapat diterjemahkan bahwa nilai properti akan hancur sekitar seperempat triliun dolar," tulis Todd Metcalfe dan Tom LaSalvia, Kepada Riset Properti Komersial Moody’s dalam analisisnya.

Hasil survei konsultan properti Jones Lang LaSalle (JLL) menunjukkan, sebanyak 85% perusahaan di Amerika Utara yang disurvei telah menerapkan sistem kerja hybrid. Sedangkan okupansi kantor di kota-kota besar AS ada di level 50% dari kondisi sebelum pandemi.

JLL menyebut, penurunan permintaan dan meningkatnya biaya kredit berdampak buruk pada penilaian perkantoran, terutama pada bangunan-bangunan lawas.

Moody’s juga mengungkapkan, banyak perusahaan  melanjutkan  atau mempertahankan praktik kerja jarak jauh atau work from anywhere kendati efek pandemi Covid-19 sudah lewat. "Jika produktivitas tetap stabil dan biaya dapat dikurangi dengan tidak menggunakan ruang kantor fisik, maka alasan untuk mewajibkan kehadiran di kantor akan berkurang," tulis Moody’s.

Baca Juga: Sewa Perkantoran di Jakarta Lesu Dampak Perpindahan Ibu Kota Negara

Dengan menggunakan berbagai data pemerintah dan akademis termasuk Survei Pengaturan dan Sikap Kerja, Moody’s menetapkan bahwa pekerja kantoran saat ini membutuhkan ruang kantor sekitar 14% lebih sedikit dibandingkan sebelum pandemi.

Hal itu sejalan dengan penelitian McKinsey Global Institute, yang menyimpulkan bahwa permintaan ruang kantor di kota-kota besar secara global akan berkurang 13% pada tahun 2030 dan nilai properti perkantoran akan turun  sekitar US$ 800 miliar-US$ 1,3 triliun hingga periode tersebut.     

Selanjutnya: Tak Terdampak Geopolitik, Produksi Pupuk Indonesia Capai 7,56 Juta Ton pada Mei 2024

Menarik Dibaca: Datangkan Rasa Sedih, Ini 5 Efek Kurang Makan Buah dan Sayur bagi Tubuh




TERBARU

[X]
×