Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden memberatkan fokus pada upaya untuk mengamankan “tawar-menawar besar” di Timur Tengah.
Hal ini mencakup normalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi, penjaga dua tempat suci umat Islam.
Perang terbaru ini secara diplomatis terasa canggung bagi Riyadh dan juga bagi negara-negara Arab lainnya, termasuk beberapa negara Teluk Arab yang bersebelahan dengan Arab Saudi, yang telah menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel.
Isu utama Israel-Palestina
Hal yang menjadi inti utama perselisihan tersebut adalah solusi dua negara, permukiman Israel, status Yerusalem, dan pengungsi.
Solusi dua negara merupakan sebuah perjanjian yang akan menciptakan negara bagi Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza bersama Israel.
Hamas menolak solusi dua negara dan bersumpah akan menghancurkan Israel.
Israel mengatakan negara Palestina harus didemiliterisasi agar tidak mengancam Israel.
Sementara, penjelasan terkait isu pemukiman adalah sebagai berikut.
Sebagian besar negara menganggap pemukiman Yahudi yang dibangun di tanah yang diduduki Israel pada tahun 1967 adalah ilegal.
Baca Juga: Israel Gempur Gaza dan Lebanon Dalam Semalam
Israel membantah hal ini dan mengutip hubungan sejarah dan Alkitab dengan tanah tersebut.
Ekspansi berkelanjutan mereka merupakan salah satu isu yang paling diperdebatkan antara Israel, Palestina, dan komunitas internasional.
Sementara itu, warga Palestina menginginkan Yerusalem Timur, yang mencakup situs-situs suci bagi umat Islam, Yahudi dan Kristen, menjadi ibu kota negara mereka.
Israel mengatakan Yerusalem harus tetap menjadi ibu kotanya yang “tak terpisahkan dan abadi”.
Klaim Israel atas bagian timur Yerusalem tidak diakui secara internasional.
Adapun Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel – tanpa merinci luas yurisdiksinya di kota yang disengketakan tersebut – dan memindahkan kedutaan AS ke sana pada tahun 2018.
Isu utama lainnya yakni terkait dengan pengungsi.
Saat ini sekitar 5,6 juta pengungsi Palestina tinggal di Yordania, Lebanon, Suriah, Tepi Barat yang diduduki Israel, dan Gaza.
Sebagian besar dari mereka merupakan keturunan warga Palestina yang melarikan diri pada tahun 1948.
Menurut Kementerian Luar Negeri Palestina, sekitar setengah dari pengungsi yang terdaftar masih belum memiliki kewarganegaraan, dan banyak dari mereka tinggal di kamp-kamp yang penuh sesak.
Warga Palestina telah lama menuntut agar para pengungsi diizinkan untuk kembali, bersama dengan jutaan keturunan mereka.
Israel mengatakan setiap pemukiman kembali pengungsi Palestina harus dilakukan di luar perbatasannya.